Isinya meminta gencatan senjata selama 14 hari. Namun permintaan itu langsung ditolak Jenderal De Kock.
De Kock menegaskan akan mengambil sikap setelah dirinya mendapat jawaban surat langsung dari Pangeran Diponegoro yang intinya rela berunding.
Basah Kerto Pangalasan yang sebelumnya pernah berdiskusi dengan Pangeran Diponegoro dan memahami jalan pikiran pangeran Jawa itu, lantas diam-diam membuat surat lagi yang seolah-olah jawaban dari Diponegoro. Pangalasan menawarkan Belanda empat opsi yang itu seolah datang langsung dari Pangeran Diponegoro.
Pertama, jika ingin tetap tinggal di tanah Jawa sebagai tentara bayaran untuk orang Jawa, mereka diizinkan untuk tetap pada jabatan dan gaji mereka masing-masing, asalkan mau menjadi pedang agama.
Kedua, jika mereka merasa betah di Jawa dan tinggal sebagai saudagar, mereka diizinkan beroperasi di kawasan khusus yang telah ditentukan di Pantai Utara. Ketiga, jika ingin pulang kampung ke Belanda akan tetap dianggap sebagai saudara selamanya satu sama lain.
“Keempat, jika orang Belanda mau memeluk iman yang benar dan menjadi muslim, maka kesejahteraan hidup dan kedudukan mereka tentu akan meningkat,” tulis Peter Carey.
Apa jawaban Belanda?. Pada 4 Januari 1830 kapal fregat Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Rupel melempar jangkar di Batavia.
Di kapal itu, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch membawa perintah pribadi Raja Willem I. Intinya tidak ada negosiasi. Yang diizinkan hanya satu, yakni Diponegoro menyerah tanpa syarat.
Meski patuh, Jenderal De Kock tetap mencoba dengan caranya sendiri.
Dia berusaha melakukan berbagai pendekatan, asalkan Pangeran Diponegoro bersedia berunding.
Editor : Arif Handono