Awalnya Diponegoro menolak, termasuk menolak surat apapun dari pihak Belanda. Namun kekakuannya mencair setelah datang bujukan dari para penasihat agamanya.
Pada 16 Februari 1830, Pangeran Diponegoro bersedia bertemu Kolonel Jan Baptis Cleerens di Remokamal.
Dia datang bersama sejumlah pengawal dan panglimanya, termasuk menyandang keris pusaka Kiai Ageng Bondoyudo, memang tidak ada kesepakatan, namun pertemuan itu berlangsung lancar dan penuh keakraban.
Diponegoro dan Cleerens saling bertukar lelucon. Diponegoro bercanda tidak minta disambut tembakan kehormatan salvo dari Belanda, karena selama perang Belanda telah melepaskan lebih dari 100.000 kali tembakan untuk menghormatinya.
Karena Jenderal De Kock masih melakukan perjalanan dari Batavia, Cleerens membujuk Diponegoro melanjutkan perjalanan dengannya, dan menunggu di Menoreh, yakni wilayah kekuasaan Belanda yang berada di perbatasan Begelen dan Kedu.
Cleerens mengulangi janji De Kock tentang jaminan keamanan bahwa Diponegoro tidak akan diapa-apakan.
Diponegoro diperlakukan penuh rasa hormat, disapa dengan sebutan sultan. Cleerens juga berkomunikasi langsung dengan bahasa Melayu tanpa penerjemah.
Pangeran Diponegoro mengiyakan. Sepanjang jalan yang dilewati penduduk mengelu-elukannya. Saat tiba di Menoreh pada 21 Februari 1830, rombongan Diponegoro berlipat menjadi 700 orang.
Editor : Arif Handono