Permintaan maaf yang disampaikan oleh Rutte ini bahkan melebihi permintaan maaf Raja Willem-Alexander saat kunjungannya ke Jakarta pada 2020 lalu.
Saat itu, Raja Willem-Alexander meminta maaf atas "kekerasan berlebihan" yang terjadi di masa revolusi (1946-1949), namun tetap mempertahankan sikap resmi Pemerintah Belanda pada 1969.
Sikap tersebut adalah mengakui terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang disebut dengan 'ekses', akan tetapi 'secara umum militer Belanda telah berlaku sesuai aturan semasa di Indonesia'.
- Apa tanggapan pemerintah Indonesia?
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan, kesimpulan penelitian ini - dari sisi tertentu - merupakan "langkah maju".
"Ini basis bagi diskusi yang berbasis informasi, tidak emosional, seperti saling menolak klaim tertentu. Tapi ini ada data. Jadi ini pijakan kita untuk membuat penilaian akademik atau moral politik," kata Hilmar Farid kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/02).
"Ini penting bagi kita untuk melangkah maju [dalam hubungan Indonesia-Belanda]," tambahnya.
Hilmar sendiri diminta oleh tim riset untuk menuliskan semacam epilog dalam penelitian ini.
Dalam epilog itu, Hilmar menekankan bahwa pendorong utama kenapa ada kekerasan ekstrem pada periode itu, adalah karena Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
"Ini konteks politik yang tidak bisa dilupakan. Kekerasan itu terjadi dalam konteks itu," ujarnya.
Menanggapi kekerasan ekstrem itu juga dilakukan orang-orang Indonesia, Hilmar mengatakan "sebagai bangsa yang besar kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan itu."
"Kita berbesar hati, mengakui bahwa memang ada kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia," tambahnya.
Menurut dia, semenjak awal Indonesia sudah mengakuinya dan berusaha menyelesaikannya.
Dia kemudian mencontohkan otoritas Indonesia saat itu mengadili para terduga pelaku kekerasan dalam kasus 'peristiwa tiga daerah' di Jawa Tengah.
Editor : Arif Handono