BELANDA, iNewsMadiun.id - menanggapi hasil penelitian dari tiga lembaga penelitian, berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia pada 1945-1950" yang menyebutkan pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem. Perdana Menteri (PM) Belana Mark Rutte pada Kamis meminta maaf kepada Indonesia.
Dalam kesimpulannya, penelitian ini menemukan bahwa militer Belanda terlibat dalam "penggunaan kekerasan ekstrem yang sistemik dan meluas" selama 1945-1949, dan pemerintah Belanda pada saat itu melakukan pembiaran.
Pada bagian lain kesimpulannya, tim peneliti juga menemukan saat pihak Indonesia melawan kehadiran kembali Belanda melalui peperangan gerilya, pasukannya - sepertinya halnya tentara Belanda - "akhirnya akrab dengan kekerasan ekstrem".
Rutte mengatakan permintaan maaf juga ditujukan kepada orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
"Saya menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada masyarakat Indonesia hari ini untuk kekerasan ekstrem yang sistemik dan tersebar luas oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu, dan kabinet sebelum-sebelumnya yang secara konsisten memalingkan muka,” terangnya.
"Saya minta maaf untuk mereka yang harus hidup dengan konsekuensi dari perang kolonial di Indonesia," lanjutnya.
Rutte berkata, tanggung jawab akan "lembaran gelap" ini tidak terletak pada tentara-tentara individu, "yang dikirim dengan persiapan kurang untuk misi mustahil".
Dalam permintaan maafnya, PM Rutte juga menyebutkan institusi-institusi Belanda yang membuat kekerasan ekstrem ini bisa terjadi adalah pemerintah, parlemen, angkatan bersenjata, dan lembaga peradilan Belanda.
Dia mengatakan budaya memalingkan muka, mengabaikan, dan rasa superioritas kolonial ini, adalah realisasi yang menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun kejadian itu berlalu.
Rutte, dalam permintaan maafnya mengakui bahwa pendirian yang terus dipegang oleh kabinet-kabinet Belanda sejak tahun 1969 itu, tidak dapat lagi dipertahankan.
Secara eksplisit, penelitian ini menyebut kekerasan di pihak Indonesia menyasar "di antaranya orang keturunan Belanda dan Maluku" dan berkelindan dalam dinamika kekerasan pada waktu itu.
Namun demikian, kekerasan dari pihak Indonesia tersebut "bukanlah alasan sesungguhnya di balik upaya militer Belanda untuk menduduki kembali Indonesia".
Permintaan maaf yang disampaikan oleh Rutte ini bahkan melebihi permintaan maaf Raja Willem-Alexander saat kunjungannya ke Jakarta pada 2020 lalu.
Saat itu, Raja Willem-Alexander meminta maaf atas "kekerasan berlebihan" yang terjadi di masa revolusi (1946-1949), namun tetap mempertahankan sikap resmi Pemerintah Belanda pada 1969.
Sikap tersebut adalah mengakui terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang disebut dengan 'ekses', akan tetapi 'secara umum militer Belanda telah berlaku sesuai aturan semasa di Indonesia'.
- Apa tanggapan pemerintah Indonesia?
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan, kesimpulan penelitian ini - dari sisi tertentu - merupakan "langkah maju".
"Ini basis bagi diskusi yang berbasis informasi, tidak emosional, seperti saling menolak klaim tertentu. Tapi ini ada data. Jadi ini pijakan kita untuk membuat penilaian akademik atau moral politik," kata Hilmar Farid kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/02).
"Ini penting bagi kita untuk melangkah maju [dalam hubungan Indonesia-Belanda]," tambahnya.
Hilmar sendiri diminta oleh tim riset untuk menuliskan semacam epilog dalam penelitian ini.
Dalam epilog itu, Hilmar menekankan bahwa pendorong utama kenapa ada kekerasan ekstrem pada periode itu, adalah karena Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
"Ini konteks politik yang tidak bisa dilupakan. Kekerasan itu terjadi dalam konteks itu," ujarnya.
Menanggapi kekerasan ekstrem itu juga dilakukan orang-orang Indonesia, Hilmar mengatakan "sebagai bangsa yang besar kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan itu."
"Kita berbesar hati, mengakui bahwa memang ada kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia," tambahnya.
Menurut dia, semenjak awal Indonesia sudah mengakuinya dan berusaha menyelesaikannya.
Dia kemudian mencontohkan otoritas Indonesia saat itu mengadili para terduga pelaku kekerasan dalam kasus 'peristiwa tiga daerah' di Jawa Tengah.
"Jadi kita dalam urusan mengakui dan menangani [kasus kekerasan], kita sudah melakukan jauh sebelum [adanya penelitian] sekarang ini," ungkapnya.
Di sini, Hilmar kemudian menggarisbawahi bahwa kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia itu bukan alasan bagi Belanda untuk mengirim tentaranya untuk melakukan pembalasan.
"Dan dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pengiriman tentara Belanda tidak ada hubungan dengan kekerasan yang dilakukan orang Indonesia, tapi untuk merestorasi kekuasaan kolonialnya," paparnya.
Sementara, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah - dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia - belum bisa menanggapi kesimpulan ini, karena pihaknya belum mendapatkan laporan dari KBRI di Belanda. iNews Madiun
Editor : Arif Handono