Ngeri, Upacara Bersih Darah Bisa Taklukkan Belanda dan Jepang

Nurfikas

Madiun, iNewsMadiun.id - Pasukan Hantu, itulah sebutan Belanda terhadap suku Dayak Punan. Sebutan ini muncul karena suku Dayak memakai sumpit sebagai senjatanya. Senjata ini menjadi sangat ditakuti Belanda, karena bergerak dalam senyap dan memiliki racun yang sangat mematikan. Sekali kena hanya dalam hitungan menit musuh akan lumpuh dan akhirnya mati.

Demikian Cerita Pagi kali ini akan mengulas secara singkat senjata tradisional suku Dayak Punan, di Kalimantan, dalam perang melawan penjajah Belanda dan Jepang.

Perang Belanda dengan suku Dayak Punan, di Kalimantan, ternyata membuktikan bahwa tidak semua senjata modern bisa menang dalam perang. Senjata tradisional, ternyata menjadi jauh mematikan dan menakuti musuh.

Sumpit merupakan senjata khas suku Dayak Punan, selain mandau. Senjata ini telah lama digunakan oleh suku Dayak Punan. Awalnya, senjata ini digunakan untuk berburu hewan. Lalu, berkembang digunakan untuk perang suku.

Saat penjajah Belanda datang, senjata ini digunakan untuk memukul balik musuh dan berhasil memberikan rasa takut.

Dalam perang di dalam hutan, suku Dayak Punan sangat unggul dari Belanda. Hutan merupakan rumah tinggal mereka, tempat tumpah darah mereka, dan masa depan mereka yang setiap incinya dikenal dengan sangat baik.

Sumpit perang suku Dayak Punan memiliki tiga bagian. Pertama batang sumpit yang bentuknya seperti pipa besi. Lalu anak sumpit atau uyan yang beracun pada matanya. Kemudian mata tombak yang terbuat dari besi.

Mata tombak pada ujung sumpit membuat sumpit Dayak Punan menjadi istimewa. Sehingga, saat mata sumpit habis, sumpit bisa tetap digunakan untuk menyerang seperti tombak. Batang sumpit dibuat dengan menggunakan kayu ulin.

Sedangkan anak panahnya dibuat dengan menggunakan kayu tulang yang dibuat lebar pada bagian pangkalnya.

Anak panah sumpit suku Dayak Punan dilumuri racun getah pohon di dalam hutan yang belum ada obat penawarnya. Dengan demikian, sekali kena sumpit beracun, maka bisa dipastikan orang atau binatang tersebut akan mati.

Tetapi tidak hanya Belanda yang gagal menguasai wilayah Kalimantan. Tentara Jepang yang dikenal bengis dan haus darah itu juga tidak bisa menembus pedalaman hutan Kalimantan karena kuatnya persatuan suku Dayak Kalbar.

Perang melawan tentara Jepang ini terjadi pada April hingga Agustus 1944. Perang tersebut dikenal juga dengan Perang Madjang Desa di Embuan Kunyil, Kecamatan Maliau, Kabupaten Sanggau. Perang ini sangat sadis dan brutal.

Berawal dari pengepungan tentara Jepang di gedung Landraadweg, Jalan Jenderal Urip sekarang, pada 1943. Dalam gedung itu, berkumpul 500 orang tokoh Dayak diseluruh Kalbar, untuk sebuah konferensi.

Semua tokoh Dayak di Kalbar datang saat itu. Mulai dari pemuda, alim ulama, wanita, Sultan Sambas, para pangeran dan panembahan, semuanya hadir. Awalnya, pertemuan berlangsung kondusif dengan para wanita dijadikan pelayan.

Para pelayanan itu lalu menaruh racun ke dalam minuman para opsir tentara Jepang. Celakanya, aksi ini ketahuan.

Jepang sangat marah dan mengumpulkan semua tokoh yang datang. Mereka lalu diangkut dengan menggunakan truk dan dibunuh. Sejak itu, pembunuhan oleh tentara Jepang di Kalbar menjadi semakin brutal.

Editor : Arif Handono

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network