SEMARANG, iNewsMadiun.id - Michael Erick tak menyangka bakal mengalami kejadian yang nyaris membuat nyawanya melayang saat mendaki Gunung Lawu. Dia sempat hilang di gunung yang berada di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu selama dua hari.
Selama dua hari itu, Erick bertahan hidup di tengah belantara hutan Gunung Lawu dengan hawa dingin. Jiwa pencinta alam seakan menempanya mampu bertahan.
“Kejadian itu saya alami saat mendaki Gunung Lawu pada Juni 2015. Kami melakukan pendakian bersama teman-teman kampus. Ada lima orang (tiga cowok dan dua cewek,” kata Erick, Rabu (10/8/2022).
Warga Dusun Bolok RT 008/RW 004, Desa Bolok, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang NTT yang tinggal di Semarang menceritakan awal kejadian yang dia alami hingga hilang dua hari di Gunung Lawu.
Dia bersama teman-temannya mendaki Gunung Lawu dari Cemoro Kandang pada Sabtu sekitar pukul 09.00 WIB. Kemudian sampai pos Cokro Suryo pukul 17.45 WIB dan membangun tenda untuk menginap. Kemudian melanjutkan perjalanan pada Minggu pukul 07.00 WIB.
Erick dan rekannya mencapai puncak Harjo Dumilah pukul 08.40 WIB. Anggota Kompass itu turun sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka sampai pos 4 sekitar pukul 11.00 WIB. Namun, Erick mendahului rekan lain yang sedang beristirahat. Teman-temannya sampai Cemoro Kandang pukul 13.30 WIB, namun Erick belum sampai. Sehingga teman-temannya melaporkan kehilangan.
“Ketika di perjalanan di Gunung Lawu didampingi oleh burung jalak lawu (jalak gading). Teman saya bercerita mitosnya burung itu susah untuk diabadikan atau difoto,” ujar Erick.
“Ketika perjalanan pulang saya coba foto burung tersebut karena penasaran. Akhirnya saya arahkan rombongan untuk lewat jalan yang benar. Saya turun ke sungai untuk foto burung jalak itu kemudian saya dapat foto, tapi saya berdiri di atas ranting yang di bawahnya sungai terjal akhirnya saya jatuh,” ujarnya.
Karyawan Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid) itu mengungkapkan saat jatuh sempat tertahan di kayu pohon yang tumbang. Namun dia tak bisa naik ke atas karena terjal. Dia pun mulai bertahan hidup dengan membuat rumah dari dedaunan.
“Saat itu burung masih di depan saya. Karena mitosnya burung tersebut sakral sebagai pengantar rombongan orang keraton kalau ziarah ke puncak Gunung Lawu. Kemudian di situ saya bertahan hidup, saya membuat api ditutupi dengan daun mentah, biar ada kepulan asap,” kata pria kelahiran 29 Mei 1996 ini.
Menurutnya, dalam ilmu pencinta alam membuat api adalah biar membuat jiwa lebih tenang. Selain itu dirinya juga mencari tumbuhan pakis untuk dimakan.
Yang bikin merinding, dia mengungkapkan sempat melihat benda aneh pada malam hari.
“Pas malam hari saya melihat ada kalau orang Jawa bilangnya banaspati, ternyata cahaya itu terbang. Jadi waktu itu belum paham kalau itu makhluk gaib. Akhirnya pagi hari saya jalan menyusuri sungai, di situ ketemu banyak buah-buahan, seperti strawberry dan anggur hutan saya kumpulin buat pas istirahat dimakan,” katanya.
Ketika ‘menginap’ di hutan, dirinya tidur di semak-semak.
“Saat itu saya ketemu sarang hewan buas kayaknya harimau karena ada bekas kakinya, ada tulang hewan. Di situ saya lari langsung naik memanjat tanah tebing, terus ketemu kayak lapangan bola. Hari kedua saya tidur di tempatnya babi hutan,” ujarnya.
Dia mengatakan, intinya pada saat tersesat sebenarnya masih bisa bertahan. tapi yang paling tinggi hasrat untuk bunuh diri itu tinggi karena depresi.
“Jadi ketika menemukan tebing kan dalam kondisi capek, di situ timbul pemikiran mending lompat saja. Kebanyakan orang kalau pendaki tersesat bunuh diri karena depresi. Tapi di situ aku alihkan pikiran akhirnya tetap jalan terus,” katanya.
Erick mengungkapkan bahwa pada hari ketiga sudah ditemukan tim SAR saat dirinya sudah dekat dengan rumah warga.
“Waktu itu pedomannya saya selamat pada saat azan subuh aku bangun jalan, azan magrib aku tidur. Jadi kalau dalam pendakian itu waktu-waktunya cocok untuk kesehatan,” kata Erick.
“Suara azan menyelamatkan sekalian menuntun. Azan membangunkan saya jalan. Waktu itu kondisi saya masih sehat. Kata orang-orang di sini (warga setempat) bilang waktu itu saya sudah mau dimasukkan ke gerbang gaibnya penjaga di Lawu, karena mungkin kurang sopan dan sebagainya, dari situ saya mulai belajar. Seperti kata pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” katanya.
Dia mengakui jika kejadian tersesat saat mendaki Gunung Lawu pertama kali seumur hidup selama melakukan pendakian. Namun demikian dia tak kapok untuk tetap mendaki gunung.
“Semenjak kejadian (tersesat di Gunung Lawu), saya masih naik gunung lagi seperti ekspedisi di Maluku. Mungkin kalau nggak ikut pencinta alam saya nggak selamat, karena di Mapala diajari survival dan etika sopan santun pendakian,” ujarnya.
iNewsMadiun
Editor : Arif Handono