Gadis berkerudung ini menempuh pendidikan S2 pada 2020 dalam kondisi pandemi sehingga perkuliahan berlangsung online dan penuh keterbatasan. Tetapi kondisi itu tidak menghalangi Lavita untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan studi.
“Pas pertama masuk udah full online (kegiatan belajarnya). Ke laboratorium juga ga bisa. Sedangkan teknologi nano ini fokusnya ke riset. Jadi harus menyesuaikan kondisi saat itu. Untungnya, setelah satu semester ada kebijakan diperbolehkan masuk lab untuk pengerjaan tesis. Jadi untuk penelitian bisa balik normal lagi meskipun kelas tetap online,” kata Lavita dikutip dari ITB.ac.id.
Lavita mengenal dunia nano saat terlibat dalam riset bersama dosen ITB selama enam bulan pascakelulusannya dari Program Studi Sarjana Teknik Biomedis ITB. Di sana, dia bekerja sama dengan berbagai program studi, profesi, universitas, dan industri.
Dari situ, muncul kesadaran dalam diri Lavita akan pentingnya kolaborasi multidisiplin. Bersamaan dengan itu, ITB membuka Program Studi Magister Teknologi Nano untuk pertama kali pada 2020 yang mengusung konsep kolaborasi.
“Prodi ini di bawah Sekolah Pascasarjana ITB, gak di bawah fakultas/sekolah tertentu karena dosen-dosennya berasal dari berbagai fakultas. Di sini (Magister Teknologi Nano ITB), kami boleh riset apa pun. Selain itu, konsep kolaborasi juga ditekankan banget,” tutur Lavita.
Editor : Arif Handono