Dan Abu Yazid mengatakan, “Pada hajiku yang pertama aku hanya melihat Ka’bah, kedua kalinya, aku melihat Ka’bah dan Tuhannya Ka’bah, dan ketiga kalinya, aku hanya melihat Tuhan saja.” Pendeknya, tempat suci ada di mana musyahadat ada.
Karena itu, yang sebenarnya bernilai bukalah Ka’bah, melainkan kontemplasi (musyahadat) dan pelenyapan (fana’) di dalam istana persahabatan, dan melihat Ka’bah merupakan sebab tidak langsung.
Tetapi, kita harus tahu bahwa setiap sebab bergantung pada pencipta sebab-sebab, dari tempat tersembunyi mana pun kuasa ilahi tampak, dan dari mana pun keinginan si pencari bisa dipenuhi.
Tujuan mistikus dengan melintas belantara dan padang pasir bukanlah tempat suci itu sendiri.
Tujuan mereka adalah mujahadah dalam suatu kerinduan yang membuat mereka tak bisa tenang, dan kelenyapan dalam cinta yang tak pernah berakhir.
Seseorang datang kepada Junayd. Junayd bertanya kepadanya dari mana ia datang, Ia menjawab, ” Aku baru saja melakukan ibadah haji.”
“Dari saat engkau permata kali berjalan dari rumahmu, apakah engkau juga telah meninggalkan semua dosa?” tanya Junayd.
“Tidak,” jawab orang itu.
“Berarti,” kata Junayd, “engkau tidak mengadakan perjalanan. Di setiap tahap dimana engkau beristirahat di malam hari, apakah engkau telah melintas sebuah makam di jalan menuju Allah?”
“Tidak”.
“Berarti engkau tidak menempuh perjalanan tahap demi tahap. Ketika engkau mengenakan pakaian ihram di tempat yang ditentukan, apakah engkau membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana engkau melepaskan pakaian-pakaian sehari-harimu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji. Ketika engkau singgah di Arafah, apakah telah singgah barang sebentar dalam musyahadat kepada Tuhan?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak singgah di Arafah. Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika engkau mengelilingi Ka’bah, apakah engkau sudah memandang keindahan non material Tuhan di tempat suci?”
“Tidak”
“Berarti engaku tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika engkau lari antar Shafa dan Marwah, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?”
“Tidak.”
“Berarti engakau tidak lari. Ketika engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?”
“Tidak.”
“Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak berkurban. Ketika engkau melemparkan batu-batu, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau belum melemparkan batu-batu, dan engkau belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah dan lakukan ibadah haji seperti yang telah kugambarkan supaya engkau bisa sampai pada makam ibrahim.”
Editor : Arif Handono