iNewsMadiun.id Pada abad ke 19 M, beredar sebuah kutipan puisi terkenal: East is East and West is West, and never the twain shall meet (Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat dan keduanya tidak akan pernah bertemu).
Puisi itu ditulis oleh Rudyard Kipling, seorang sastrawan Inggris kelahiran India. Puisi berjudul The Ballad of East and West itu sangat terkenal. Terutama karena rangkaian kata-katanya dijadikan semboyan kolonialis Eropa untuk menancapkan kaki penjajahan di benua Asia dan Afrika. Salah satu bukunya pernah dijadikan film Hollywood berjudul The Jungle Book.
Pesan terselubung dibalik rangkaian puisi adalah: ras bangsa Barat (ketika itu khususnya Eropa) dan ras bangsa Timur (Asia dan Afrika) selamanya akan berbeda secara mendasar yang tidak akan pernah bisa disatukan. Dan kedudukan ras Barat lebih tinggi dari ras Timur di Bumi.
Rangkaian kata dalam puisi itu menjadi semacam kekuatan ras Barat dalam melegitimasi penjajahan dan penjarahan terhadap kekayaan dan harta milik ras Timur. Itulah yang menjadi dasar penjajahan Bangsa Eropa terhadap sesamanya di Asia dan Afrika.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, maka Barat dan Timur menyatu hingga kini. Tidak ada lagi pemisah antara ras Barat dan ras Timur. Kedua ras ini berada dalam kedudukan sederajat dalam menghuni Bumi ini. Sepintas lalu, pesan puisi tadi kehilangan relevansinya. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Sejarah Singkat Ronggowarsito
Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, Raden Ngabehi Ronggowarsito (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 dan meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir Tanah Jawa.
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ronggowarsito. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat pencerahan di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwono IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ronggowarsito diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwono VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ronggowarsito melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwono VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ronggowarsito. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ronggowarsito peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Pakubuwono IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwono VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwono VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwono IX kurang menyukai Ronggowarsito, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ronggowarsito dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ronggowarsito dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ronggowarsito pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ronggowarsito meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ronggowarsito meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang beranggapan Ronggowarsito adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ronggowarsito dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ronggowarsito hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ronggowarsito meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ronggowarsito tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
Editor : Arif Handono