"Berani kalian makmum sama Nabi?" Ada sahabat yang coba menghitung lamanya sholat Nabi. Nabi itu sholat sedang takbir, ia berkata, "Aku pernah mencoba hitung, aku tinggal pulang, menyembelih kambing, aku kuliti, masak lalu makan. Lalu saat kembali lagi, Nabi masih di rakaat pertama." Coba! Dulu kan belum ada jam. Cara menghitungnya seperti itu. "Berani kamu?" Makanya kalau Nabi tahu Tarawih model Wonokromo, Jejeran. Padahal, Wonokromo sudah bagus, sudah standar. Apalagi kalau melihat Tarawih Blitar. Tarawih di Blitar berapa? Tujuh (7) menit malah. Itu gimana? Itu umatnya Nabi Sulaiman bukan umatnya Nabi Muhammad.
Pengikutnya Ashif bin Barkhiya (yang membawa Istana Bilqis). Model kilat! Nek kulo mboten cocok, karepe piye kiaine! (Model kilat! Kalau saya tidak cocok, maksudnya bagaimana kiainya!) Tujuh menit bagi dua puluh rakaat, berapa? "Satu menit, tiga rakaat." Kalau satu menit dapat tiga rakaat, lalu Fatihah-nya itu berapa huruf? "Terlalu…!" Makmum sama Nabi lho seru! Dua ratus ayat! Nabi ya enjoy, asyik. Makmum juga asyik. Sama pahamnya, sama sholehnya. Setelah sholat, bahagia semua. Hal ini karena ketenangan jiwa ada dalam shalat. Tapi ini nyata. Andaikan kalian, sudahlah nggak perlu sesaleh Nabi. Terlalu tinggi! Misalnya kalian nyaman saat sholat seperti Sayyid Ali Zainal Abidin. Beliau dalam sehari bisa shalat sampai 1.000 rakaat.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait