KEDIRI, iNEwsMadiun.id - Berikut kisah terbentunya kediri, wilayah yang terbangun dari cucuran darah dan air mata dalam perang saudara.
Raja Airlangga(1009-1042) memutuskan membelah kerajaannya (Kahuripan atau Medang) menjadi dua setelah Sanggramawijaya Tunggadewi, putrinya menyatakan menolak meneruskan tahta.
Tunggadewi mengambil jalan sunyi. Ia memilih tinggal di dalam gelapnya goa, tenggelam di balik tebalnya kabut gunung, menjaraki hiruk pikuk kehidupan duniawi.
Tunggadewi menghabiskan diri sebagai pertapa. Rakyat lebih mengenal putri Airlangga itu sebagai Dewi Kilisuci. Airlangga sedih, tapi tetap menghormati keputusan putri mahkotanya.
Raja Airlangga kemudian meminta pertolongan Mpu Bharada untuk memberi tapal batas wilayah kerajaan yang akan dibelahnya. Bharada seorang brahmana dari Lemah Tulis.
Ia berjasa besar dalam penaklukan Calon Arang, seorang janda sakti penganut sekte tantra bhairawa dari Jirah (sekarang Gurah) yang teror pagebluknya membuat Airlangga kalang kabut.
Mpu Bharada melaksanakan titah raja. Dengan menggamit sebuah kendi tanah liat berisi air, tubuhnya mengangkasa. Sembari terus bergerak, dari udara Mpu Bharada menumpahkan air kendi sedikit demi sedikit. Ceceran air mulai dari wilayah Gunung Kelud menuju arah selatan menjadi tapal batas dua wilayah kerajaan baru.
Pertama, Kerajaan Panjalu atau Daha dengan ibu kota Kadiri dengan raja Sri Samarawijaya. Kemudian Kerajaan Jenggala yang berpusat di kota lama, Kahuripan, diperintah saudaranya yang bernama Mapanji Garasakan.
Peristiwa pembelahan dua kerajaan ini berlangsung pada 1042. Namun tapal batas gaib melalui perantara Mpu Bharada tidak mampu mencegah bahaya pelanggaran aturan kedewataan.
“Tidak lama sesudah Airlangga meninggal dunia ini, terjadilah pertempuran antara dua negara ini : Daha dan Jenggala,” tulis R. Moh Ali. S.S. dalam “Perdjuangan Feodal Indonesia”.
Editor : Arif Handono