JAKARTA, iNewsMadiun.id - Ada fakta mengejutkan tentang mahasiswa Indonesia yang dapat beasiswa belajar di luar negeri. Sedikitnya 1.000 mahasiswa asal Indonesia yang berusia 25 sampai 35 tahun pindah kewarganegaraan. Mereka pindah ke Singapura karena berbagai alasan seperti kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik.
Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Karim mengatakan kepada BBC News seperti dilansir Okezone.com, bahwa 1.000 orang tersebut tidak hanya terdiri dari mahasiswa tapi “orang-orang yang memiliki keahlian khusus; talenta-talenta baik.” Data 1.000 WNI per tahun itu berasal dari tahun 2019-2022.
"Sejumlah WNI ke Singapura karena ingin mendapatkan kesempatan dan kehidupan yang lebih baik adalah wajar. Namun jumlahnya yang cukup banyak, serta fakta kebanyakan dari mereka sedang di usia produktif, patut menjadi “alarm” akan kemungkinan pelarian modal manusia atau brain drain di Indonesia," katanya.
Istilah tersebut merujuk pada perpindahan orang-orang pintar dan terdidik ke luar negeri sehingga negara asalnya kehilangan “otak” yang terampil. “Ini fenomenanya kan yang pindah itu adalah orang-orang produktif memiliki keahlian, expertise, dan talenta-talenta baik ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya ada di Indonesia? Itu kan menjadi PR bersama,” ujarnya.
Dia memperkirakan angka 1.000 WNI per tahun itu juga mencakup para pengusaha dan warga lanjut usia (lansia) yang memutuskan untuk tinggal di Singapura setelah pandemi Covid-19. Menurut dia, banyak WNI lansia terutama merasa lebih nyaman tinggal di Singapura karena sistem kesehatan dan lingkungan yang lebih baik.
Salah satu warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan adalah Septian Hartono (38). Dia mengaku mempertimbangkan selama 15 tahun untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya memutuskan untuk tinggal karena “alasan pragmatis”. Karier menjadi salah satu faktor yang menentukan. Septian bekerja sebagai teknisi kesehatan di rumah sakit umum terbesar di Singapura.
Dia merasa apa yang dikerjakan sekarang belum ada di Indonesia — atau kalaupun ada, levelnya tidak sama seperti di Singapura. Faktor lainnya ialah standar hidup di Singapura yang dinilai lebih baik dari Indonesia, yang menurut Septian itu berkat fasilitas publiknya.
Septian mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 di Nanyang Technological University setelah lulus SMA di Jakarta pada 2003. Sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun. Jika ditotal, Septian tinggal di Singapura selama tujuh tahun sebelum menyandang status permanent resident (PR).
Septian lantas menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa di NTU. Keduanya dikaruniai anak, lalu mereka memutuskan untuk tinggal dalam jangka panjang di Singapura. “Setelah itu, make sense kalau kita convert (pindah kewarganegaraan),” katanya kepada BBC News Indonesia.
Editor : Arif Handono