"Situasinya sulit diungkapkan dengan kata-kata," katanya. “Saya ingin membantu dengan cara apa pun.” “Saya memberi tahu dunia bahwa cukup, sudah cukup. Peperangan, pengeboman, dan pembunuhan yang terjadi pada kita sudah cukup. Kami lelah. Kami benar-benar lelah,” kata al-Qaisi sambil menggendong putranya yang terluka, Ahmed. Wissam Joudeh (39), melakukan apa yang dilakukan al-Qaisi.
Dia juga mengizinkan buldoser untuk menghancurkan sebagian rumahnya agar tim penyelamat dapat mengevakuasi orang-orang yang terluka. “Saya sedang duduk bersama keluarga ketika kami mendengar dan merasakan tembakan yang mengguncang tempat ini,” katanya. “Saya keluar dan rudal itu mengenai tepat di belakang rumah kami. Beberapa saat sampai kendaraan pertahanan sipil bergegas masuk, situasinya sangat sulit. Orang-orang yang terluka berteriak di bawah puing-puing ...[Ada] tubuh yang terbakar, dan saat itu sudah larut malam.”
Gaza Sendirian
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan ambulans adalah menghancurkan rumah al-Qaisi dan sebagian rumah Joudeh untuk membantu mengakses lokasi pengeboman. “Meskipun saya baru membeli rumah ini tiga bulan lalu, setelah perjuangan panjang untuk menemukan stabilitas, saya tidak ragu untuk membiarkannya dibongkar untuk mencoba menjangkau yang terluka dan mayat di bawah reruntuhan,” kata Joudeh. “Mereka adalah tetangga saya dan saya sangat sedih dengan apa yang terjadi pada mereka.” Joudeh meminta komunitas internasional dan kemanusiaan untuk menekan Israel agar menghentikan serangan berulang-ulang di Gaza.
“Gaza sendirian. Kami tidak memulai pertengkaran dengan siapa pun. Kami adalah warga sipil yang hanya ingin hidup damai.” Tepat di utara Gaza, Najwa Abu Hamada (46), belum pulih dari keterkejutan kehilangan putra tunggalnya, Khalil (19), dalam sebuah pengeboman di dekat rumah mereka di kamp pengungsi Jabalia.
Abu Hamada mengatakan dia baru saja makan siang dengan putranya sebelum dia pergi dengan salah satu temannya. “Kurang dari satu menit setelah dia pergi, saya mendengar ledakan bom yang keras,” kata Abu Hamada. “Segera saya keluar ke jalan sambil berteriak ‘anakku, anakku!'”
Dia adalah Seluruh Hidupku
Pengeboman itu terjadi di depan sebuah supermarket di sebelah rumah mereka, menewaskan lima warga sipil, termasuk anak-anak. “Hal pertama yang saya lihat adalah tubuh sahabat putra saya. Saat itulah saya berteriak dan tahu bahwa anak saya mungkin juga telah terbunuh,” kata Abu Hamada. “Beberapa menit kemudian saya menemukan anak saya.
Dia berlumuran darah dan tergeletak di tanah. Saya berteriak sangat keras memanggil ambulans." Abu Hamada mengatakan bahwa Khalil adalah putra satu-satunya, yang dikandungnya setelah 15 tahun berusaha untuk memiliki anak. “Saya melakukan lima putaran fertilisasi in vitro (IVF), semuanya gagal. Kemudian putaran IVF terakhir berhasil dan Khalil terlahir."
Editor : Arif Handono