JAKARTA, iNewsMadiun.id - Penjelasan Gus Baha tentang uang hasil copet dan judi menarik untuk disimak. Ulama ahli tafsir Al-Qur'an asal Rembang ini mengulasnya dari perspektif ilmu fiqih. Sebagaimana diketahui, copet dan judi merupakan dua perkara yang diharamkan dalam Islam. Bahkan dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa judi dan khamar merupakan dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.
Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu, bagaimana dengan uang hasil copet dan judi? Apakah haram atau halal? Berikut penjelasan Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin) dalam satu kajiannya di kanal YouTube. "Saya pernah mempelajari masalah halal dan haram mulai dari Kitab Ihya' sampai kitabnya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Kitab Al-Gunyah) dan Kitab Nihayatul Mathlab.
Halal itu adalah hukum. Bukan dzatnya lho, artinya bukan khamr, bukan babi, bukan pula bangkai. Barang halal menjadi haram itu karena proses yang salah. Barang itu akan selalu menjadi halal karena hukum barangnya halal. Bukan karena materinya halal. Jadi misalnya begini, Anda sopir ya sopir itu halal, kondektur juga halal. Padahal nanti bakal ada pelacur misalnya naik bus pakai uang hasil dari melacur (maaf). Pencopet naik bus dari hasil mencopet.
Dan dia pun pergi untuk meneruskan aktivitas nyopetnya. Anda sebagai sopir atau kondektur tetap halal (menerima upah). Karena Anda mendapatkannya melalui transaksi yang halal. Meskipun dibayar dari materi yang asal usulnya didapatkan dari yang haram. Contoh lain mungkin penjual pulsa. Bisa jadi pembelinya pelacur (maaf) dan pulsa yang dibelinya untuk mencari pria hidung belang atau sebaliknya. Kamu kan tidak bisa ngasih tulisan "Hanya yang berkepentingan halal." (hehe..) Makanya hukum itu susah. Itulah kenapa rata-rata orang alim tidak asal ngomong.
Dalam perkataan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Imam Al-Ghazali, yang dikatakan halal itu apabila Anda saat transaksi melakukan sesuatu yang halal. Di luar itu Anda sudah tidak dimintai pertanggungjawaban. Sebab, kalau dimintai tanggung jawab, tukang rental mobil akan ngomong seperti ini: "Mau Anda gunakan maksiat atau tidak? maaf lho ya cuma bertanya" (hehe..)
Jadi tidak perlu berlebihan seperti itu. Kalau transaksi yang kamu lakukan halal, maka hukumnya menjadi halal. Allah tidak menuntut di luar itu. Itulah yang disebut: "Halal adalah secara hukum, bukan secara dzat (dari segi barangnya). Yang dikatakan halal itu kalau menurut Allah halal. Kalau menurut Allah haram, ya haram. Nah, orang-orang fiqih punya pertanyaan begini. Ini memang agak sulit.
"Ada koruptor, misalnya Zaid itu koruptor terus memberi saya uang 1 Milyar. Saya tahu kalau uang itu hasil korupsi. (Ini konteksnya tidak di Indonesia hanya contoh umum saja. Tidak usah tersinggung ya KPK). Kalau saya kembalikan ke negara yang tidak jelas fungsinya. Misalnya kalau dipakai masjid nanti masjidnya berutang jasa kepada koruptor, ini misalnya.
Kalau dalam ilmu fiqih Islam, cara pandangnya tidak seperti itu. Uang 1 Milyar yang penting kamu sita karena jika dikembalikan ke orang fasik akan digunakan untuk kekuatan fasik lagi. Kalau kamu pakai untuk masjid nanti masjidnya berutang jasa ke koruptor. Terus ada kiyai memakainya untuk jalan dan jembatan.
Yang penting masjid tidak berutang jasa dan tidak pula (uang itu) jadi sarana kemaksiatan. Dalilnya adalah ketika Nabi berperang melawan orang kafir dan mereka kalah. Hartanya disita atau tidak? Ya disita! Sekarang saya mau tanya: "Hartanya orang kafir itu rata-rata dari cara yang haram atau halal? Jawabannya haram.
Kalau harta itu dikembalikan karena Nabi orang suci dan para sahabat orang baik. "Sudah jangan makan hartanya orang kafir, kembalikan saja." Ya akhirnya dipakai dan target pertama yang penting disita. Makanya ini sirrnya (rahasia) kenapa ghanimah (harta rampasan perang) itu halal, padahal hartanya orang kafir. Alasannya, jika dikembalikan bakal menjadi kekuatan bagi orang kafir. Makanya kita butuh ulama untuk menjelaskan hikmah-hikmah hukum Islam.iNewsMadiun
Editor : Arif Handono