WONOSOBO, iNewsMadiun.id - Peristiwa ini terjadi sekira tahun 1985. Sebuah pengalaman mistik supranatural yang bertepatan malam 1 Suro atau malam 1 Muharram.
Ketika itu Joko bersama rekan-rekan sekolahnya sepakat untuk melakukan pendakian Gunung Sindoro di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Joko memang warga Wonosobo dan bersekolah kelas 2 Sekolah Lanjutan Atas.
Sekira 18 orang pelajar, 4 diantaranya pelajar putri, naik angkutan utama menuju Pos 1 di Desa Bedaka Tambi, tidak jauh dari Garung. Di desa tersebut, sejumlah para pendaki lain dari berbagai tempat telah berkumpul. Beberapa diantara mereka tergolong para pendaki yang telah berpengalaman, sebagian lagi pendaki pemula, termasuk Joko.
Setelah melakukan upacara singkat dan doa bersama, para pendaki memulai perjalanan menuju Pos 2 dengan dibimbing oleh seorang pemandu wanita.
Perjalanan menuju Pos 2 di Desa Sigedang Tambi menggunakan kendaraan truk. Adapun Pos 2 merupakan titik akhir perhentian kendaraan dan titik awal menuju pendakian.
Ketika itu, Joko sempat bertanya kepada pemandu wanita itu,
"Berapa jauh menuju puncak Gunung Sindoro, mbak?" tanya Joko.
"Hanya sekira 6 kilometer. Jalur pendakian juga bagus, tidak seperti jalur pendakian Gunung Sumbing," jawab pemandu wanita itu.
Kabarnya, pemandu wanita berusia 20 tahunan itu sangat berpengalaman mendaki Gunung Sindoro. Entah sudah berapa kali dia naik turun Gunung Sindoro memandu para pendaki dari berbagai daerah. Bahkan ada juga pendaki dari mancanegara.
Harap difahami, jarak 6 kilometer menuju puncak gunung tentu saja berbeda dengan berjalan di jalanan datar. Butuh stamina ekstra untuk melakukannya.
Sekira pukul 9 malam, semua pendaki memulai pendakian melalui jalur yang telah ditentukan. Berjalan beriringan bersama kelompoknya masing-masing.
Joko bersama teman-teman sekolahnya berjalan beriringan. Pada awalnya semua berjalan lancar. Jarak antar teman masih berdekatan. Namun, setelah sekira 3 kilometer dari titik awal pendakian, jarak antar teman mulai renggang dan agak berjauhan. Kekuatan fisik dan terutama nafas mulai terasa berat.
Mereka yang kuat cenderung melangkah lebih cepat meninggalkan teman yang lain.
Joko bersama 2 pria dan 5 perempuan mulai merasa kelelahan hingga berjalan agak lambat. Sementara kemiringan jalur pendakian menuju puncak semakin tinggi hingga membuat nafas ngos-ngosan.
Seorang teman diantara mereka yang sejak awal berjalan beriringan bersama Joko berkata,
"Saya jalan duluan ya. Kamu ikuti saja jalur ini. Nanti ada belokan ke kanan. Kamu ikuti belokan itu, ya," kata rekan Joko.
Rupanya dia ingin memercepat langkahnya menyusul teman-temannya yang sudah berada jauh di depan. Agaknya dia mulai bosan menemani Joko, 1 pria dan 5 pelajar putri yang langkahnya mulai melambat.
Bersamaan itu, sejumlah pendaki dari rombongan yang lain juga melewati langkahnya. Rombongan itu memang berangkat belakangan dari Pos 1.
Beberapa saat setelah rombongan itu melewatinya, Joko melihat 2 orang membawa obor di tangan yang juga melewati langkahnya.
Joko menduga dua orang itu bagian dari rombongan pendaki juga. Para pendaki memang ada yang membawa obor, senter untuk penerangan atau pancaran sinar Bulan.
Joko dan temannya mengikuti langkah dua orang yang membawa obor itu lantaran jalan pendakian menjadi lebih terang.
Dua pria pembawa obor itu berjalannya lebih santai tidak terkesan terburu-buru. Joko dan 6 temannya merasa senang berjalan di belakangnya yang hanya berjarak sekira dua meter.
Tetapi Joko mulai bertanya-tanya ketika pada suatu lintasan belokan, dua pria pembawa obor itu belok ke arah kiri dan bukan belok ke arah kanan sebagaimana disarankan temannya. Tanpa berprasangka apapun, Joko dan temannya mengikuti saja langkah kedua pria pembawa obor itu.
Beberapa saat setelah berbelok ke arah kiri itu, Joko dan temannya merasa jalannya tersesat. Suasana tampak lebih hening, tidak ada para pendaki lain yang berjalan melewatinya sebagaimana sebelumnya.
Para pelajar putri mengeluh kehilangan jejak rombongan yang lain. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pada detik itu, Joko melihat sebuah pemandangan aneh. Tampak hamparan tanah datar yang sangat luas. Ribuan manusia berkumpul mengelilingi sebuah bangunan mirip rumah yang masih berbentuk rangka.
Anehnya, semua bagian tiang-tiang rumah dan bagian lainnya mengeluarkan api yang berkobar-kobar. Suasananya mirip orang-orang yang sedang berdiri mengelilingi api unggun.
Joko berjalan mendekat ke arah orang-orang yang berkerumun itu. Sambil diperhatikannya api yang berkobar hingga membuat suasana terlihat terang, dia juga mengamati orang-orang yang berdiri berkerumun itu.
Orang-orang itu berkepala gundul. Hanya terlihat 3 orang yang berambut gondrong yang berada terdekat dengan api yang berkobar. Mungkin 3 orang gondrong itu para pemimpin dari kumpulan orang-orang gundul.
"Mengapa semua orang yang berkerumun itu berkepala gundul?" tanya Joko dalam hatinya.
Orang-orang yang berkerumun itu juga mengeluarkan suara seperti bergumam. Entah apa yang diucapkan tidak jelas.
"Apakah sedang ada upacara atau pembacaan doa?" tanyanya lagi dalam hati.
Merasa penasaran, Joko semakin mendekat ke arah kerumunan pria gundul yang berdiri membelakanginya itu.
" Enten acara nopo, pak (Ada acara apa, pak?" tanya Joko dalam bahasa Jawa.
Beberapa pria gundul yang berdiri di depannya itu menolehkan kepalanya ke arahnya. Joko merasa heran melihat mereka.
Ternyata wajah mereka sangat menyeramkan. Bukan wajah manusia pada umumnya. Seketika itu juga, Joko balik arah menuju titik belokan berkumpul bersama 6 temannya yang tersesat. Sambil melangkah, Joko membaca lantunan doa
Tidak berapa lama kemudian, dia mendengar suara orang berteriak-teriak memanggil namanya.
"Joko...kowe nang endi ( kamu dimana)?" teriak suara itu.
Joko mengenali suara itu. Tanpa ragu, dia membalas teriakan itu,
" Aku nang kene ( aku di sini)," jawabnya.
Benar saja, beberapa temannya datang menghampiri. Rupanya mereka sedang mencari Joko dan 6 temannya yang tersesat itu.
Selanjutnya mereka kembali melangkah menuju puncak Gunung Sindoro. Dalam perjalanan itu Joko sempat bertanya kepada 6 temannya yang tersesat seputar api yang berkobar dan kumpulan manusia gundul. Ternyata tidak ada satu pun yang melihatnya. Hanya Joko saja yang melihatnya. Saat itu Joko baru sadar dirinya masuk ke alam gaib hingga dapat melihat api berkobar dan manusia gundul.
Menjelang tiba di puncak Gunung Sindoro, terjadi juga keanehan. Terdengar suara sayup-sayup gamelan berkumandang. Tetapi semua yang ada di puncak gunung itu mendengarnya. Sementara kumpulan manusia gundul yang mengelilingi kobaran api itu hanya Joko yang melihatnya.
Rombongan para pelajar itu tiba di puncak gunung sekira pukul 04.30 WIB. Tidak berapa lama kemudian tampak sinar Matahari mulai muncul dari ufuk Timur. Sungguh nikmat rasanya menikmati Matahari terbit.
Beberapa waktu kemudian, Joko mendapat cerita dari seseorang yang memiliki kemampuan mistik supranatural. Konon katanya, makhluk berkepala gundul itu merupakan para penghuni gaib Gunung Sindoro
Sebagaimana dikisahkan Joko (bukan nama sebenarnya) kepada Penulis.
iNewsMadiun
Editor : Arif Handono