Salah satu kebahagiaan umat Islam ialah menunaikan ibadah haji. Ibadah haji tidak hanya terkait kemampuan materi dengan ketersediaan dana cukup. Ibadah haji terutama terkait dengan kesiapan mental, ketersediaan waktu, kesempatan serta kemauan.
Ibadah haji (dan umroh) menjadi sarana pencerahan batin. Ketika kita sibuk dengan urusan duniawi, mengumpulkan harta yang banyak dan melampiaskan syahwat sepuas-puasnya, maka dengan melakukan ibadah haji, kesadaran batin akan muncul. Sebuah pencerahan yang membuat diri lebih bijak dalam menghadapi kehidupan.
Itulah sebabnya, siapapun yang pernah menunaikan ibadah haji dan umroh, mungkin mengalami peristiwa spiritual. Tetapi tidak harus peristiwa supranatural atau yang dikaitkan dengan kejadian mistik. Adakalanya hanya peristiwa biasa saja, tetapi mengandung makna yang dalam hingga membuatnya menjadi lebih bijak saat berada kembali di tanah kelahirannya.
Harus diakui, ada banyak orang yang pernah menunaikan ibadah haji dan menyandang gelar haji di depan namanya, tetapi tidak mengubah kesadaran batinnya. Ada banyak orang yang bertitel haji, tetapi tidak mengubah perilakunya.
Sekaitan dengan ini, iNewsMadiun merangkum kisah spiritual perjalanan haji. Sebuah pengalaman sederhana yang mengubah jalan hidup seseorang.
Al Ghazali
Sekira abad 11 Masehi, Abu Hamid Al Ghazali mengalami sebuah peristiwa yang mengubah jalan hidupnya. Ketika itu dia berada dalam puncak kesuksesan duniawi, menjadi Rektor Universitas Nizhamiyyah dan Hakim Agung Kekhalifahan Islam di Baghdad. Nama Al Ghazali terkenal dan kekayaannya melimpah.Segala sesuatu yang diinginkan manusia ada pada dirinya: kekayaan, kehormatan dan pujian.
Hingga suatu malam, Al Ghazali mimpi bertemu TuhanNya. Al Ghazali merasa tersanjung bertemu TuhanNya.
Dalam mimpi itu, Tuhan bertanya, “Apa yang membuat Aku (Tuhan) berkenan menemuimu dalam mimpi?”
Al Ghazali menjawab,”Karena hambaMu ini banyak berbuat baik kepada manusia. Hamba mengajarkan ilmu agama yang Engkau turunkan kepada RasulMu Muhammad dan aku juga menjadi hakim yang adil bagi manusia.”
Tuhan berfirman, “Semua kebaikanmu kepada manusia sudah mendapat imbalan sepadan. Nama besarmu, pujian yang kamu dapatkan dan kekayaan yang melimpah.”
Al Ghazali terkejut mendengarnya, lalu bertanya.
“Apakah yang membuat Tuhan berkenan menemui hambaMu ini?” tanya Al Ghazali.
Dalam mimpi itu, Tuhan berfirman kepada Al Ghazali mengisahkan sebuah peristiwa yang bahkan Al Ghazali tidak mengingatnya.
Pada suatu malam, Al Ghazali sedang menulis di ruang kerjanya. Suatu ketika, setetes keringat jatuh dari wajah Al Ghazali dan mengenai ujung pena.
Bersamaan dengan itu, seekor lalat hinggap di ujung pena dan meminum keringat yang berada di ujung pena. Seketika Al Ghazali diam sejenak dan tidak menggerakkan penanya. Dia membiarkan lalat itu minum air keringatnya hingga kenyang dan terbang kembali.
Al Ghazali merasa itu hanya sebuah peristiwa kecil yang tidak bermakna. Tetapi Tuhan menghargai perbuatan Al Ghazali dan menemuinya dalam mimpi.
“Perbuatan baikmu kepada makhluk ciptaanKu (lalat itu) tidak diketahui siapapun. Tidak ada pujian yang kamu dapatkan dan tidak ada penghargaan yang kamu terima. Itulah kebaikan yang sesungguhnya,” demikian Tuhan berkata-kata kepada Al Ghazali dalam mimpi.
Mimpi itulah yang membuat Al Ghazali merenung selama beberapa waktu. Hatinya diliputi rasa gelisah. Sebelumnya Al Ghazali meyakini bahwa sumbangsihnya kepada manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan dan sikap adilnya sebagai hakim akan mendapatkan pahala yang kelak diterimanya di akhirat.
Namun ternyata, semua itu tidak dianggap sebagai sebuah prestasi besar di mata Tuhan. Justru Tuhan memujinya saat Al Ghazali membiarkan lalat minum air keringatnya di ujung pena.
Kegelisahan inilah yang membuat Al Ghazali memilih uzlah (mengasingkan diri) dari kota Baghdad. Dia mengembara selama 10 tahun ke berbagai tempat, Mekkah, Madinah, Palestina dan Mesir.
Selama beberapa tahun Al Ghazali menetap di Mekkah dan Madinah. Menimba ilmu dan mengamati kehidupan manusia di sana. Terkadang menetap di Kawasan Masjidil Haram, berbaur dengan segala macam manusia dari ras dan status sosial berbeda. Orang kaya dan miskin berbaur menjadi satu tanpa ada sekat sedikitpun.
Ketika menetap di Kawasan Masjid Nabawi, Madinah. Al Ghazali mengamati sekelompok orang yang kerap berada di salah satu sudut di areal masjid. Kelompok orang ini hidup sangat sederhana dan berpakaian seadanya pula. Mereka berpakaian dari kulit domba atau biasa disebut shuf. Orang-orang inilah yang kemudian dikenal sebagai orang-orang sufi.Pola hidup dan pikirannya dikenal dengan nama Tasawuf.
Orang-orang sufi ini sangat menginspirasi Al Ghazali. Dia berbaur dengan orang-orang sufi ini. Mengamati dan memelajari pikiran-pikirannya tentang ketauhidan dan kesalehan sosial. Sebuah pencerahan baru mengubah jalan hidup Al Ghazali.
Ketika kembali ke kampung halamannya, Al Ghazali meninggalkan semua yang pernah dimilikinya. Jabatan dan harta melimpah ditinggalkan. Al Ghazali memilih merenung dan menuangkan semua pengalaman barunya dalam tulisan.
Ketika itulah Al Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin. Sebuah kitab yang selama seribu tahun masih dibaca dan dikaji manusia hingga saat ini. Buku inilah yang menempatkan beliau menyandang gelar Hujjatul Islam.
Kisah Pemabuk
Kisah ini dituturkan Jauhar (bukan nama sebenarnya), seorang pedagang yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Dia mengalami sebuah peristiwa saat menunaikan ibadah haji. Pengalaman itu ternyata berkaitan dengan perilaku sebelumnya.
“Siapapun yang pernah ke Tanah Suci pasti mengalami peristiwa spiritual. Meskipun pengalamannya berbeda-beda, tetapi mengandung makna yang sama, sebuah pencerahan batin,” kata Jauhar mengawali pembicaraan.
Lebih jauh dikatakan, peristiwa yang umum terjadi adalah mengalami sebuah kejadian yang berkaitan erat dengan perilaku sebelumnya. Ambil contoh, seorang peminum alkohol tentu akan mengetahui akibat perbuatan haramnya itu saat berada di Tanah Suci.
“Saya mengalami sendiri. Saat hendak memasuki Masjidil Haram, selalu terasa ingin buang air kecil. Setelah ke toilet dan kembali menuju Masjidil Haram, muncul lagi keinginan buang air kecil,” kata Jauhar dengan raut sedih.
“Saya sempat merenung sambil memandang Masjidil Haram dari kejauhan. Saya ingin sekali shalat di masjid itu dan melihat Ka’bah. Tetapi selalu gagal lantaran urusan hajat alami ini,” lanjutnya.
Pada saat itulah, dia teringat masa-masa sebelumnya dimana dirinya pernah menenggak alkohol. “Seketika saya melakukan shalat taubat, memohon ampun kepada Tuhan. Setelah itu, saya mencoba memasuki Masjidil Haram dan melakukan shalat,” katanya lagi.
“Anehnya, saya hanya bisa melakukan shalat dua hingga empat rakaat saja. Sebab keinginan buang air kecil muncul kembali. Padahal saya juga ingin tadarus dan thawaf mengelilingi kabah,” lanjutnya.
Jauhar kembali ke maktabnya (penginapan) dan melakukan shalat taubat berulangkali. Entah berapa raka’at yang dilakukannya. Setelah itu, dia kembali ke Masjidil Haram dan shalat di depan Ka’bah.
“Alhamdulillah. Sejak itu, saya mampu berjam-jam shalat dan tadarus di masjid tanpa terganggu keinginan buang air kecil,” ujarnya.
Selanjutnya Jauhar bercerita pengalaman lain yang tergolong aneh. Ketika itu, dia sedang berada di Masjid Nabawi, Madinah. Bersama jamaah lainnya, Jauhar hendak memasuki Raudhah. Tempatnya di sebelah makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Tetapi saat itu dirinya dan juga jamaah haji yang lain terhambat masuk lantaran ada anggota keluarga Kerajaan atau tamu penting Kerajaan yang bersamaan hendak memasuki Raudhah.
Tentu saja pengawalan diperketat dan jamaah haji dilarang memasukinya. Para askar (tentara) berbaris mengamankan lokasi, sebelum keluarga Kerajaan atau tamu penting itu keluar dari munajatnya di Raudhah. Saat itu Jauhar sudah berada di dekat Raudhah tetapi tidak dapat masuk lantaran terhalang para askar. Seketika itu juga, Jauhar berkata sendiri dengan nada suara pelan memanggil Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
“Ya, Rasulullah, engkau tidak pernah membeda-bedakan manusia. Mengapa keluarga Kerajaan itu diberi kebebasan memasuki taman-taman surga, sementara umatmu harus menunggu, “ kata Jauhar dengan nada lirih penuh harap.
Sungguh suatu kejadian luar biasa, tiba-tiba saja beberapa pengawal Kerajaan memberi kelonggaran kepada sejumlah jamaah untuk memasuki Raudhah. Ketika itulah Jauhar berhasil masuk ke Raudhah dan shalat di dekat makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Raudhah dikenal sebagai taman-taman surga.
Kisah Permata Surga
Kisah ini dikemukakan Teguh Setya Budi. Pria yang menetap di Kranggan, Bekasi ini mengalami sebuah kejadian aneh saat berada di Masjidil Haram. Ketika itu dia dan jamaah lain sedang duduk berzikir menghadap Ka’bah. Entah kenapa, tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya mengenai Surga.
Sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci Al Qur’an, Surga berisi banyak kenikmatan yang khusus diberikan kepada manusia yang taat kepada Tuhan. Surga dihiasi beragam permata, berlian dan segala sesuatu yang tidak pernah dilihat manusia. Bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia.
Teguh meyakini semua yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi dia tidak pernah membayangkan mengalami suatu peristiwa aneh di Masjidil Haram.
“Selintas timbul keinginan saya untuk melihat keindahan surga. Saya pun memohon kepada Tuhan agar diperlihatkan satu saja isi surga,” kata Teguh.
Tiba-tiba saja, sekira 2 meter di depannya, keluar sesuatu benda dari dalam lantai masjid. Sebuah benda bundar berukuran kecil berwarna putih keluar begitu saja dari lantai granit tersebut. Seolah-olah ada lubang kecil di lantai yang mendorong benda bundar itu keluar.
Kemudian, benda putih itu menggelinding mendekati posisi duduknya. Teguh mengambil benda bundar itu dengan tangannya sambil memerhatikannya.
“Benda bundar itu berwarna putih memancarkan sinar terang. Seukuran biji tasbih. Saya memegangnya sekira satu atau dua menit. Setelah itu saya letakkan kembali di lantai,” kenang Teguh.
Keanehan terjadi lagi. Benda putih itu menggelinding ke arah semula dan masuk kembali ke dalam lantai Masjidil Haram.
Teguh menengok ke teman yang duduk di sebelahnya. Lalu dia berkata,” benda yang tadi saya pegang seperti bersinar. Apa kamu lihat?”
Teman yang duduk di sebelahnya balik bertanya,” benda apa? Saya tidak lihat apapun.”
Teguh terkesiap. Ternyata hanya dia yang melihat benda bundar itu, sedangkan teman di sebelahnya tidak melihat. Seketika Teguh melakukan sujud syukur atas karunia itu. Sungguh Surga benar adanya. Semoga kita termasuk orang-orang yang masuk ke dalam Surga. Aamiin…iNewsMadiun.
Editor : Arif Handono