MALANG, iNewsMadiun.id – Perang antara Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda, sejatinya membuat kaum pendatang yang sudah menguasai jalur perdagangan di Eropa tersebut panik. Semua cara dihalalkan untuk meredam pengaruh Pangeran Diponegoro. Di bawah kepemimpinan jenderal De Kock, Belanda menyusun kajian strategi melawan balik Pangeran Diponegoro dan pasukannya. De Kock menyiapkan lima langkah strategi sosio-militer demi melawan Pangeran Diponegoro. Sang jenderal ini mencoba mencermati dan merinci lagi taktiknya, jangan sampai strateginya kembali kalah.
Dalam buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855)" tulisan Peter Carey menunjukkan lima strategi Jenderal De Kock, pertama sang jenderal Belanda ini mempererat hubungan dengan kesultanan sehingga para pangeran dan pejabat tinggi yang masih ada tidak lagi menyeberang ke pihak Diponegoro.
Berikutnya sang jenderal mempererat ikatan politik dan militer dengan Surakarta, sehingga Sunan Pakubuwana VI dan Mangkunagara II tetap setia. De Kock juga berkomitmen merebut kembali daerah-daerah Mataram yang masih dikuasai Diponegoro dan pasukannya.
Restorasi sistem pemerintahan yang efektif juga dilakukan, sehingga perekonomian setempat dapat segera dipulihkan. Rencana terakhirnya yakni mengurung kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro di wilayah pegunungan sempit antara Kali Progo dan Kali Bogowonto, untuk kemudian diisolasi dan dilucuti.
De Kock juga membuat sayembara penangkapan Diponegoro dan para pemimpin Perang Jawa lainnya. Tak cuma sayembara biasa, Belanda juga menjanjikan imbalan besar bagi siapapun yang berhasil membawa Diponegoro hidup atau mati. Tubuh Diponegoro dihargai 10.000 dolar Spanyol atau 20.000 gulden bagi siapa pun yang bisa membawa Diponegoro hidup atau mati.
Bahkan Belanda menghargai siapapun yang berhasil membawa potongan kepala Pangeran Diponegoro yang meninggal. Sayembara berburu potongan kepala Pangeran Diponegoro itu dihargai dan akan dibayarkan di markas besar De Kock di Magelang. Sayang sayembara ini tidak ada yang mempedulikannya.
Namun Belanda tak habis akal, perubahan strategi perang juga dilakukannya. Mereka membuat sistem perbentengan darurat yang sebelumnya sudah dirintis oleh Cochius. Di mana sejak awal perang pada Oktober 1825 perwira zeni tempur sudah mendirikan benteng pertamanya di Kalijengking, sebelah selatan Kedu, terletak di tepi Jalan Magelang-Yogya, untuk memberi perlindungan kepada konvoi-konvoi militer dan tempat bermalam bagi para tentaranya.
Para komandan pasukan gerak cepat yang lain kemudian mengikuti jejaknya. Benteng rancangan Cochius sebenarnya sangat sederhana, setelah memilih lokasi strategis yang dirasa cocok, biasanya di atas bukit atau di tempat lain yang terlindungi secara alamiah, ia membangun bangunan mirip suatu barak berbentuk segi empat, yang cukup menampung satu peleton tentara sekitar 20-30 orang.
Dia kemudian mempertahankan benteng itu dengan mendirikan pagar keliling yang kokoh dari batang kelapa setinggi 1-7 meter, dengan satu atau dua dudukan senjata yang ditinggikan di bagian-bagian sudutnya.
Mengingat sifat darurat bangunan, perbentengan itu dengan mudah dapat ditinggalkan, dan suatu benteng baru dapat dibangun di lokasi lain, yang lebih membutuhkan dukungan pasukan.
Alhasil sejak diperkenalkan dalam operasi militer pada Mei 1827, sebagai bagian dari strategi baru yang terintegrasi dari Belanda, sistem benteng itu bersama sebelas pasukan gerak cepat yang beroperasi di Jawa tengah bagian selatan, hingga akhir perang merupakan kunci sukses militer Belanda.
Hingga Maret 1830 tak kurang ada 258 benteng darurat semacam itu telah dibangun, dengan jumlah terbesar 90 buah dibangun dalam tahun 1828. Perbentengan itu tersebar di areal luas yang membentang dari ibu kota Kabupaten Banyumas di barat, hingga Ponorogo di timur. Setidaknya ada 16 di antaranya yang cukup luas menampung lebih dari 100 tentara dan sejumlah meriam.iNews Madiun
Editor : Arif Handono