JAKARTA, iNewsMadiun.id - Kebijakan mandatory biodiesel Adalah pesebab naiknya harga miyang goreng saat ini. Menurur ekonom senior, Faisal Basri, kebijakan itulah yang luput dari diskusi dan juga pertimbangan pemerintah sehingga kebijakan lain yang diambil untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng dianggap meleset.
"Ternyata ekspor bukan biang keladi kenaikan harga," kata Faisal dikutip dari tulisanya yang berjudul "Ulah Pemerintahlah yang Membuat Harga Minyak Goreng Melonjak" di faisalbasri.com, Jumat (4/2/2022).
Faisal menjelaskan, walaupun harga minyak sawit dunia melonjak, volume ekspor CPO dan turunannya hanya naik sangat tipis dari 34,0 juta ton tahun 2020 menjadi 34,2 juta ton tahun 2021. Kenaikan sangat tipis volume ekspor walaupun terjadi lonjakan harga beriringan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton tahun 2020 menjadi 46,89 juta ton tahun 2021.
Di masa lalu, lanjut Faisal, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng). Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.
Peningkatan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20%kandungan CPO dalam minyak biosolar). Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24%.
"Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton tahun 2019 menjadi 8,42 juta ton tahun 2020. Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut tahun 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi," beber Faisal.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan tahun 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43% dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada tahun 2019 masih sekitar 37%. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan.
Tentu saja pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.
Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu. Hingga kini sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS.
"Itulah dilema antara CPO untuk 'perut' dan CPO untuk energi. Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk 'perut' dan CPO untuk energi," tandas Faisal. INews Madiun
Editor : Arif Handono