JAKARTA, iNews.id - Haul Pangeran Diponegoro diperingati setiap 8 Januari. Perjalanan Sang Pangeran memimpin perang Jawa harus berakhir di pengasingan. Seperti apa hari-hari terakhir Pangeran Diponegoro? Berikut kisahnya. Pada 12 Juni 1830, Kapal Pollux akhirnya membuang jangkar di Manado. Keesokan harinya Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya diturunkan dari kapal. Mereka dikawal menuju Fort New Amsterdam, Benteng Belanda di kemudian hari rusak akibat gempa (14 Mei 1932) dan pengeboman Amerika Serikat (7 Desember 1944). Benteng ini akan menjadi rumah mereka selama tiga tahun. "Menurut Babad Diponegoro, Van den Bosch telah menjanjikan dia 'tempat yang terpencil dan tenang' di sebuah rumah besar dengan panorama pemandangan yang luas menghadap ke pegunungan dan laut dengan taman-tamannya yang asri, rumah-rumah peristirahatan dan tempat-tempat lain yang dapat dinikmati tanpa gangguan," ujar Sejarawan Peter Carey, yang juga penulis buku Diponegoro, 'Takdir' dan 'Kuasa Ramalan' dikutip Okezone.
Pada tahun 1859, empat tahun sejak wafatnya Diponegoro, Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang ahli ilmu alam Inggris, menggambarkan Ibu Kota Minahasa itu sebagai salah satu kota tercantik di Timur dengan barisan puncak-puncak gunung berapinya yang menakjubkan, yang membentuk latar belakang luas dan pemandangannya yang indah (Wallace 1890:185). Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Tulis Babad dalam Ruang Panas di Benteng Rotterdam Sekalipun gambaran di atas boleh jadi sesuai dengan janji Gubernur Jenderal (Knoerle, ‘Journal’, 50), segera menjadi jelas bahwa maksud Van den Bosch untuk mengurung pemimpin Perang Jawa ini di tempat yang aman dan jauh di pedalaman praktis tidak dapat dilaksanakan.
Ketika Knoerle, seorang perwira Hindia Belanda menemui Residen Manado, D.F.W. Pietermaat (menjabat, 1827-31), mereka sampai pada keputusan bahwa Pangeran Diponegoro akan di tempatkan sementara di ruangan dengan empat kamar di dalam benteng Fort Nieuw Amsterdam. "Untuk itu ruangan direnovasi agar cukup 'elegan', lengkap dengan rak buku, meja tulis berikut lacinya, dengan lampu minyak besar keluaran terakhir. Diponegoro memang ingin menuliskan sesuatu selama ia tinggal di Manado. Dua kuda juga dibeli untuk Pangeran, sehingga ia dapat berkeliling di daerah itu," ungkap Carey. Saat Knoerle berangkat pada tanggal 20 Juni, keputusan yang diambil adalah bahwa Pangeran tetap tinggal di Manado. Pada hari-hari sebelumnya (14-17 Juni 1830) Knoerle telah melakukan survei ke pedalaman dan mencatat bahwa satu-satunya lokasi yang cocok untuk Diponegoro adalah Tondano.
Tetapi ada masalah hanya sebulan sebelumnya, Kiai Mojo beserta 62 pengawalnya sudah lebih dahulu tinggal di sana. Baik Knoerle maupun Pietermaat sepakat bahwa pemimpin Perang Jawa dan penasihat agamanya yang utama ini tidak boleh berada di satu lokasi pengasingan yang sama, suatu keputusan yang kebetulan dipermudah oleh pilihan Pangeran sendiri untuk tetap tinggal di Ibu Kota Minahasa mengingat dinginnya suhu udara di dataran tinggi Tondano. Dalam babad, Diponegoro menyebut-nyebut tentang percakapan terakhir antara dirinya, Knoerle, dan kapten kapal Pollux sebelum mereka berangkat pulang ke Batavia. Setelah memberitahukan tunjangan bulanan sebesar 600 gulden, Kapten Eeg menanyakan apakah Pangeran hendak menitipkan pesan pribadi kepada Gubernur Jenderal, mungkin dalam bentuk sepucuk surat? “Tidak!” jawab Diponegoro.
“Saya tidak punya keinginan menitipkan surat karena saya tidak bisa menulis, cukup sampaikan salam saja kepada Jenderal Van den Bosch!” (Babad Dipanegara IV:201). "Jawaban Diponegoro ini meragukan: Pangeran sebetulnya mampu menulis dalam bahasa Jawa meski secara gramatikal masih kacau. Pangeran bahkan dapat menulis surat-surat pribadi dan mendiktekan karya besarnya seperti babad riwayat hidupnya sepanjang 43-canto," ujarnya. "Berpura-pura buta huruf merupakan isyarat Pangeran untuk menyatakan bahwa ia tidak bisa melupakan ketidaksediaan Van den Bosch untuk menemuinya sewaktu masih berada di tahanan Batavia", tambahnya.
Akan tetapi, secara pribadi Diponegoro tetap berusaha mengirim pesan kepada “kawannya yang mulia” itu. Terutama, ia meminta agar istri-istrinya, yang masih tinggal di Yogya dan istri-istri Kiai Mojo dan istri-istri para pengikutnya, dapat dipersatukan dengan suami-suami mereka di pengasingan. Pangeran juga minta agar dua penasihat agama terdekatnya, Haji Badarudin dan Haji Ngiso, dapat bergabung di Manado, dan bahwa Van den Bosch hendaknya menjadi “pelindung” bagi anak-anaknya di Mataram . Meski istri Kiai Mojo boleh diboyong ke Minahasa dan bukan karena rasa kasihan, semua permintaan Pangeran Diponegoro yang lain ditolak. "Tidak satu pun istri-istri resminya yang lain yang ingin bergabung dengan dirinya di pengasingan. Dua haji penasihatnya pun sama. Mereka terlalu sibuk membangun karier masing-masing di Hindia Belanda pasca-perang. Penolakan mereka ini menegaskan sekali lagi betapa sulitnya kehidupan Diponegoro di pengasingan," paparnya. Dunia Pangeran yang mendadak berubah menyempit menjadi hanya seluas empat kamar di Fort Nieuw Amsterdam, yang ia masuki setelah berkelana sendirian di bulan-bulan terakhir pelariannya di hutan-hutan Bagelen barat, menjadi dunia yang begitu menyiksa.
Belum sebulan sejak awal kedatangannya, Pangeran tidak berminat lagi untuk berkeliling ke desa-desa di sekitarnya. Dalam pandangannya, lingkungan Manado tidak cocok untuk dijelajahi dengan berkuda. "Sejak itu ia juga minta untuk disapa sebagai 'Pangeran Ngabdulkamit', sebuah gelar yang kelak akan ia ganti lagi dengan cita rasa yang lebih asketik 'fakir Ngabdulkamit', yang dilakukan setelah ia datang di Makassar pada 11 Juli 1833," ucapnya. Tetap setia dengan cita-citanya untuk hidup sederhana dengan satu tujuan, yakni menabung uang untuk suatu ketika berangkat naik haji ke Mekkah, Diponegoro menjadi sangat hemat dengan tunjangan bulanannya. Pada akhir Agustus 1830, Pietermaat menjadi was-was, jangan-jangan Pangeran sedang mengumpulkan uang tabungan untuk perang baru karena jumlah uang tabungannya cukup besar. Satu-satunya kemewahan yang dilakukan Pangeran hanyalah membeli di pasar setempat sarung keris berhiaskan emas untuk keris pusakanya, Kanjeng Kiai Bondoyudo.okezone
Editor : Arif Handono