JAKARTA, iNewsMadiun.id - Tersangka pembunuhan Brigadir J, Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan kebohongan dengan alat lie detector. Pemeriksaan kebohongan sangat penting dilakukan untuk memastikan keterangan Ferdy Sambo jujur atau berbohong.
Sayangnya, dengan alasan demi keadilan dalam proses penegakan hukum, hasil pemeriksaan lie detector terhadap Ferdy Sambo tidak bisa diungkap kepada publik. "Hasil uji lie detector projustitia untuk penyidik," ungkap Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (9/9/2022).
Dedi menjelaskan, Ferdy Sambo diperiksa penyidik Puslabfor Polri di Sentul, Jawa Barat, Kamis (8/9/2022) siang hingga malam. "Info dari Labfor pemeriksaan dilakukan sampai jam 19.00 WIB. Hasilnya apakah sudah selesai itu domainnya Labfor dan penyidik," ujar Dedi.
Pada kesempatan sebelumnya, Dedi Prasetyo menjelaskan alat untuk lie detector. Menurut dia, Puslabfor Polri saat ini menggunakan poligraf limestones dan lafayette. Dua alat poligraf tersebut sudah diakui oleh American Polygraph Assosciation (APA).
"Instrumen poligraf mulai digunakan di Labfor dari tahun 1985 (lafayette tipe analog). Sejak tahun 2000-an sudah menggunakan poligraf tipe digital sampai saat ini, di mana poligraf digital dikembangkan karena lebih responsif dari alat analog sebelumnya," katanya.
Dalam pemeriksaan lie detector, APA mensyaratkan minimal ada tiga sensor instrumen poligraf yakni Pneumograph yaitu merekam pola pernapasan (dada dan perut), Galvanometer yaitu merekam respons tahanan/konduktansi kulit, dan Cardiograph yaitu merekam perubahan pola cardio vascular/tekanan darah/jantung.
Adapun tahapan pemeriksaan yaitu awalnya melakukan interview atau pretest selama 2-3 jam. Pemeriksaan awal itu memberikan pemahaman tentang cara kerja alat poligraf, menggali riwayat sosial, riwayat kesehatan untuk memastikan kesiapan terperiksa dalam pemeriksaan.
"Tahapan ini juga bertujuan untuk mencapai rapport (membangun chemistry antara pemeriksa dan terperiksa)," ujar Dedi. Selanjutnya pemasangan alat/tes waktu 1 sampai 2 jam. Terperiksa dipasang sensor-sensor poligraf kemudian dilakukan tes awal untuk membiasakan terperiksa rileks dengan alat yang terpasang.
Hal ini untuk mengetahui pola reaksi tubuh terperiksa ketika jujur maupun ketika berbohong dan untuk melihat kesiapan terperiksa secara mental dan fisik. "Kemudian baru diperiksa dengan diberikan serangkaian pertanyaan terstruktur (pertanyaan netral, control, relevant, SR, Symptomatic), 1 grafik/chart terdiri atas 10-12 pertanyaan, grafik/chart diambil 3-5 kali untuk metoda terverifikasi oleh APA," tuturnya.
Tahapan selanjutnya adalah evaluasi hasil pemeriksaan dengan menganalisa hasil pemeriksaan, plus pembuatan BAP hasil pemeriksaan. Tahapan ini memakan waktu 2-3 hari kerja. "Untuk hasil poligraf ada tiga bentuk kesimpulan yakni DI (Deception Indicated/berbohong), NDI (No Deception Indicated/Jujur), dan No Opinion (tidak dapat dianalisa)," tuturnya.
Dedi mencontohkan beberapa kasus yang menggunakan metode poligraf yaitu kasus pembakaran seorang perawat RSCM di Jakarta Pusat dengan tersangka pacarnya seorang pria pegawai Pemkab Bekasi pada 2022, kasus pembunuhan terkait perebutan harta waris di Batu, Jawa Timur pada 2021, dan kasus pencabulan batita di Kalimantan Barat pada 2021. Pemeriksaan lie detector dilakukan oleh pihak/instansi lain.
Dipastikan metode yang dilakukan berbeda karena banyak metode lie detector yang berkembang (seperti gestur, wajah, intonasi suara, media tulisan dll). Metode ini dapat dipertanggungjawabkan secara scientific dan internasional (didukung ASTM dan standar APA). "Dari APA menjelaskan keakuratan mendekati 93% jika pemeriksa melakukan pelatihan sesuai standar APA. Dan syarat ini telah memenuhi persyaratan alat bukti di pengadilan (pro justitia)," kata Dedi.
Untuk diketahui, Polri menetapkan lima orang tersangka dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Kelima tersangka antara lain, Irjen Ferdy Sambo, Bharada E, asisten rumah tangga sekaligus sopir Kuat Ma'ruf dan Bripka Ricky Rizal, dan Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Pada kasus ini, Polri memastikan bahwa tidak ada peristiwa tembak-menembak. Faktanya adalah Bharada E disuruh menembak Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo. Ferdy Sambo diduga memainkan perannya sebagai pihak yang melakukan skenario agar kasus Brigadir J muncul ke publik dengan isu baku tembak.
Dalam hal ini, Ferdy Sambo menembak dinding di lokasi kejadian dengan pistol milik Brigadir J agar seolah-olah itu merupakan tembak-menembak. Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi kepada Ferdy Sambo berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Namun, Sambo masih melakukan banding. Atas perbuatannya, mereka semua disangka melanggar Pasal 340 subsidair Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. iNewsMadiun
Editor : Arif Handono