Dari Patriot ke Pembelot
Kahar Muzakkar sejatinya bukan orang awam bagi Soekarno. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, putra Luwu ini mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi.
Di Jakarta pula dia membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, pria yang memiliki panggilan La Domeng ini ikut mengawal Soekarno.
Saat Sang Proklamator didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang.
Namun putaran waktu dan perubahan situasi mengubah ideologi perjuangan Kahar. Dari seorang patriot, dia dicap pembelot.
Cikal bakal pemberontakan Kahar telah terasa sejak awal 1950, ketika terjadi perselisihan antara mantan pasukan gerilya dengan petinggi militer di Sulsel.
Menurut Jurnal Penelitian Keislaman UIN Sunan Kalijaga, pada 18 Juni 1950 Kahar diminta untuk menuju ke Sulsel dalam rangka menenangkan para pasukan gerilya Sulawesi Selatan yang memberontak.
Panglima Komando Tentara dan Teritorial Indonesia Timur (KTTIT), Kolonel Kawilarang menginstruksikan Kahar bersama Mursito segera menemui pasukan gerilya dan memberikan pengertian pada mereka bahwa peleburan pasukan gerilya dilakukan secara perorangan apabila memenuhi syarat untuk masuk TNI.
Namun tawaran ini ditolak oleh pasukan gerilya Sulsel. Mereka meminta penggabungan secara berkelompok dengan menunjuk Kahar Mudzakkar sebagai komandan. Tentu saja hal ini ditolak Kawilarang.
Perpecahan pun terjadi. Kahar termasuk dalam kubu yang mendukung pasukan gerilya Sulawesi Selatan. Secara resmi dia meletakkan tanda pangkat letnan kolonelnya di depan Kawilarang pada 5 Juli 1950 dan memilih bergabung dengan pasukan gerilya.
Sejarawan UI Anhar Gonggong mengatakan penolakan Kawilarang tentang Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) masuk Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan menjadi Brigadir Hasanuddin memantik kekecewaan mendalam bagi Kahar.
Penolakan itu membuatnya merasa gagal mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar. Kahar berikut KGSS lalu memutuskan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada 7 Agustus 1953, Kahar memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Kahar sendiri diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII.
"Pada awal kemerdekaan 1945 hingga 1950 Kahar adalah patriot pembela bangsa. Namun setelah tahun 1952 dia menjadi pemberontak. Memang ada jasa Kahar untuk bangsa ini. Namun itu semua terhapus karena pemberontakannya terhadap negara Republik Indonesia," kata Anhar Gonggong kepada SINDOnews, beberapa waktu lalu.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait