Tokoh Muda NU ini mencntohkan, ada orang memakai jubah atau sorban langsung disebut kiai. Padahal tidak pernah mondok, apalagi mengasuh pondok pesantren. Bahkan justru berpraktek sebagai paranormal atau dukun.
"Demikian juga dengan istilah gus. Itu adalah sebutan untuk anak kiai di Pulau Jawa. Untuk menghormati bapaknya yang seorang kiai. Jadi tidak boleh sembarangan menyebut seseorang sebagai gus. Cari tahu dulu dia anak kiai siapa, di mana pondok pesantrennya," ujar Fawait.
Presiden Laskar Sholawat Nusantara ini mengungkapkan, segala hal itu harus diposisikan sesuai pada tempatnya, termasuk istilah atau penyebutan kiai atau gus dalam kehidupan bermasyarakat. Dia mengingatkan, sebutan kiai, gus, lora atau yek merupakan sebuah penghormatan dan sarat maknanya. Karena itu harus disematkan kepada orang yang tepat dan memang berhak.
"Banyak kasus terjadi, orang yang melakukan praktik perdukunan menyebut dirinya kiai atau gus. Hal itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan gus yang benar-benar asli," kata Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jatim tersebut.
Diketahui pemilik Padepan Nur Zat Sejati menyebut dirinya Gus Samsudin. Belakangan namanya ramai dibicarakan setelah praktik perdukunannya dibongkar pesulap merah yang ditengarai hanya trik dan bukan asli.
Tak hanya itu, warga sekitar padepokan juga geram dan meminta padepokan tersebut ditutup. Pasalnya, praktik yang dilakukan laki-laki yang menyebut dirinya Gus Samsudin Jadab merupakan penipuan.
iNewsMadiun
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait