Uang tersebut, lanjut Anom, sempat diterima Junaedi dan dipakai untuk mengurus akad pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Kota Bandung. Namun, pihak KUA menolak dengan alasan korban masih di bawah umur, sehingga korban dan pelaku tak bisa dinikahkan.
Singkat cerita, pihak pengurus yayasan kemudian kembali bertemu dengan Junaedi di Polres Subang. Di sana, kata Anom, diduga telah terjadi pemaksaan kepada Junaedi agar mendatangani sejumlah dokumen yang disiapkan para terduga pelaku. Merasa terdesak dan karena ketidaktahuannya, Junaedi lantas menandatangani dokumen itu.
Setelah ditelisik, dokumen tersebut ternyata berisi keterangan yang menyebutkan korban lahir di tahun 1993. Padahal, faktanya, korban lahir tahun 1997. Pemalsuan tanggal lahir korban diduga dilakukan untuk memberi kesan kepada penyidik bahwa korban sudah berusia 18 tahun dan sudah menikah, sehingga terbit surat penghentian penyidikan dari polisi atau SP3.
"Korban didesak untuk mendatangani dokumen, beliau (Junaedi) sempat menolak beberapa kali," katanya.
Lebih lanjut Anom mengatakan, pihaknya yang mengetahui nasib tragis yang dialami Junaedi kini berupaya memberikan bantuan hukum, agar Junaedi dan anaknya bisa menerima keadilan.
"Kami sudah melayangkan surat peringatan kepada pihak yayasan sebanyak dua kali pada tanggal 7 Juli dan 15 Juli 2022," katanya.
Menurut Anom, surat peringatan dilayangkan kepada pihak yayasan karena pihak keluarga korban sudah membuka pintu damai dengan pelaku, namun sejumlah pengurus yayasan diduga menutupi kasus itu. Pihak keluarga korban hanya meminta para terduga pelaku menunjukkan iktikad baiknya.
"Somasi kami sudah dua kali kirim, tapi tidak mendapat perhatian serius atau tidak digubris," kata Anom.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait