“BAHKAN pada sebagian media mainstream kini berkembang jurnalisme tanpa verifikasi. Mereka memberitakan begitu saja, apa adanya, siaran pers sepihak dari Mabes Polri.”
“Kitapun terpana. Seorang perempuan sendirian menyerang mabel polri. Ia seorang lone wolf, jenis baru teroris. Polisi segera menembak mati sang penyerang.”
“Tak ada verifikasi dari pihak jurnalis. Apa benar seorang perempuan itu mudah saja masuk ke markas polisi dengan senjata? Apa benar ia seorang lone wolf, teroris? Mengapa media itu tak terlebih dahulu mengecek kepada keluarga yang bersangkutan, pada tetangga?”
“Di era media sosial sekarang ini, jurnalisme kita menjadi malas. Mereka merendahkan diri menjadi sekedar humas dari lembaga atau tokoh tertentu.”
Evaluasi kritis ini disampaikan oleh Dr Sirikit Syah yang saya susun berdasarkan memori. Saat itu ia mengevalusi meluasnya pemberitaan yang tak kritis atas fenomena ZA.
ZA nama inisial dari Zakiah Aini. Di akhir maret 2021, ia yang baru berusia 25 tahun diberitakan ditembak di mabes polri karena seorang diri datang dan mengayun- ngayunkan sejenis pistol.
Evaluasi kritis ini yang pertama saya ingat setelah mendengar berita wafatnya Dr. Sirikit Syah, MA. Ia seorang jurnalis, dosen dan juga sastrawan.
Pagi ini, di WA Sirikit Syah, saya melihat ada miss called. Namun tak ada berita apa- apa.
Jantung saya berdegub. Sehari sebelumnya, di japri WA yang sama saya berkomunikasi. Namun saat itu yang memegang HP adalah suaminya Sirikit Syah.
“Kondisi bu Sirikit belum stabil, kadang sadar kadang tidak, rawat inap sejak hari Ahad (17/4).
Terimakasih atas perhatian pak Denny dan rekan-rekan”
Saya membalas teks itu: “Semoga datang keajaiban. Semoga bu Sirikit sembuh kembali.
Para sahabatnya sesama penulis di Satupena ikut berdoa”
-000-
Sekitar enam bulan lalu, saya berkomunikasi lewat WA dengan Sirikit Syah. Saat itu Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena sedang menyiapkan akun Youtube untuk Satupena TV.
Editor : Arif Handono