Si kucing namanya Fano, bahasa Italia yang diadaptasi dari nama Paino yang sangat melegenda di Jawa. Hobinya nggigit dan nyakar. Sedangkan kerisnya bertangguh Madiun: pamor udan mas lenggah di dapur Jalak Sangu Tumpeng (JST). Kata fans boy tosan aji, keris kelas istimiwir hehe. Baik pamor maupun dapur sama-sama dibuat para mpu dengan doa agar siapapun yang memegangnya selalu dilancarkan rejekinya. Aamiin... mugi Gusti Alloh ngijabahi.
Dari sisi tangguh, keris Madiun – seperti halnya tangguh Ngadiboyo, Mageti dan Wengker- terbilang second line atau tidak sepopuler tangguh-tangguh lain. Di wilayah Jawa Timur, tangguh Singosari, Kediri, Jenggolo, Mojopahit, Madura, Tuban dan Blambangan lebih mendominasi dan masyhur. Padahal, sejarah keris Madiun sangat panjang, seiring dengan tumbuh kembanganya budaya perkerisan di kerajaan-kerajaan Jawa.
Dari sisi garap, keris Madiun juga disebut kaku, tidak seluwes keris dari tangguh lain. Namun, rancang bangun demikianlah yang seringkali jadi patokan penggemar tosan aji, karena material besi maupun pamor keris Madiun mengikuti tren kala keris dibabar di tiap era kerajaan. Semisal keris yang dipampang mirip keris Mataram hingga ditangguh keris Madiun era Mataram.
Keris Madiun juga terkesan ganjil karena ‘menyalahi’ pakem keris umumnya. Semisal sogokan dan blumbangan selalu tak pernah imbang antara kanan dan kirinya. Pada gonjo-nya juga ada sedikit keunikan. Perut gonjo tampak tipis, sedangkan sirah cecaknya berbentuk lancip. Tikel alis cenderung mencuat ke atas dengan lengkung yang tajam. Lambe gajah bisa bersusun undhak-undhakan (seperti susunan tangga). Bahkan terkadang dijumpai juga pada sirah cecak ada lambe gajah-nya.
Walaupun tidak sepopuler, tidak umum, dan tidak seindah keris lain, bukan berarti Keris Madiun tidak menarik. Bahkan kalangan tertentu menjadikan keris dari daerah yang kondang akan sego pecel, brem dan bluder Cokronya sebagai salah satu buruannya. Mengapa? Konon karena kewingitannya! Bagaimana bisa?
Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wingit artinya angker atau keramat, istilah yang sangat lazim dipadankan dengan kuburan tua atau makam para waliyulloh. Spesifik untuk perkerisan, wingit mungkin lebih tepat disebut bertuah atau memiliki isoteri sangat kuat.
Bagi kalangan takfiri, istilah wingit atau tuah yang berhubungan dengan kebendaan biasanya langsung distempel musrik atau bid’ah. Tapi biarkan saja, memang begitulah wataknya. Selain karena berasal dari perasaan paling paten atau benar sendiri, mereka tidak mau menulusuri bagaimana sejatinya proses mpu membuat keris dan masyarakat Jawa memahaminya sebagai ageman.
Keris dengan dapur maupun pamornya adalah manifestasi doa yang dibenamkan dalam benda, sepertinya doa yang ditiupkan para kiai atau tabib dalam segelas air. Bedanya, jika air bisa langsung diteguk habis, doa dalam keris bisa jauh lebih awet bahkan melintas jaman seiring dengan keberadaan keris itu sendiri.
Masyarakat Jawa juga banyak meyakini, ada rahasia Alloh SWT di balik sebilah keris, termasuk dari sisi material bahan pembuatan keris. Sehingga keris juga dijadikan wasilah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengabulkan hajatnya. Semisal setiap bulan Suro atau saat menghadapi pandemi Covid-19, ada masyarakat yang mengelilingi kampung sembari membawa pusaka dan melantunkan doa sepanjang perjalanan.
Pangkal dari kewingitan keris tentu adalah sang mpu. Jamak dimahfumi bahwa tidak bisa sembarangan dalam membabar keris. Mereka membuat sebilah pusaka dengan terlebih dulu menjalani serangkaian laku spritual agar Gusti Alloh meridhoi apa yang menjadi maksud, atau pemesan pusaka inginkan. Pun mpu di era pra Islam seperti era kabudhan juga melakukan hal sama. Kepada siapa mpu saat itu meminta ridho, ya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sosok mpu juga bukan sembarangan. Benda-benda pusaka hanya bisa dibuat oleh orang yang suci hatinya, kuat lelaku prihatinnya, hingga memiliki ke dekatan denganNya (baca bertauhid). Bagi yang menyangsikan, lihat lah sosok Mpu Supodriyo –yang menelurkan sejumlah adi karya dapur seperti keris Nogososro, Sengkelat dan Carubuk.
Siapa dia? Mpu Supodriyo adalah kesayangan Sunan Kalijaga, hingga sang wali putra adipati Tuban itu menikahkannya dengan adik kesayangannya, Dewi Rasawulan. Sudah barang tentu tidak kepada sembarang orang sang Sunan mempercayakan dan menikahkan adiknya, khususnya dari sisi ajaran Islam yang saat itu tengah disebarkannya.
Kewingitan keris Madiun dalam konteks historis mendapatkan penasbihan ketika Madiun yang saat itu masih bernama Purbaya dua kali berhasil menghalau dua kali serangan Mataram, yakni pada 1587 dan 1589. Konon, karena saat itu ada keris sakti bernama Kanjeng Kiai Kala Gumarang. Karena kekalahan itulah, Danang Sutowijoyo mengubah strategi,yakni pura-pura takluk, yang kemudian berbuah kemenangan. Kisah selengkapnya baca di https://nasional.okezone.com/
dengan judul "Kisah Peperangan Kadipaten Madiun & Mataram Berujung Percintaan.(*)
Editor : Arif Handono