NAMA SERSAN MAYOR Durman bagi Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mempunyai kenangan tersendiri. Bintara Kopassus ini mempunyai ketakwaan yang membuat Luhut kagum saat bersama-sama dalam Operasi Seroja di Timor-Timur sekarang Timor Leste.
Timor Leste pernah berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum akhirnya lepas pada 30 Agustus 1999. Banyak kisah pertempuran TNI saat melakukan operasi keamanan di tanah bekas jajahan Portugal itu. Salah satunya ada operasi tempur pasukan elite TNI AD, Kopassus saat di Bulan Ramadhan, bulan penuh kemuliaan
Nah ada cerita menarik disampaikan Menteri Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Saat itu pada 1975–1976, Luhut bersama anak buahnya diperintahkan untuk melakukan pengamanan di Timor-Timur. Luhut lantas teringat kembali seorang prajuritnya yang tetap berpuasa saat pertempuran hebat di Timor-Timur dalam Operasi Seroja.
"Bicara tentang puasa, saya teringat kepada salah seorang anak buah yang rajin berpuasa walau saat sedang berada di tengah medan perang. Namanya, Sersan Mayor Durman, Caraka saya di Kompi A Denpur-1/Parako dalam operasi tempur di Timor Portugis tahun 1975–1976," tulis Luhut di laman Facebooknya yang dikutip beberapa waktu lalu.
Peraih Adhi Makayasa Akademi Militer Nasional tahun 1970 ini mengatakan, sepanjang berlangsungnya operasi, sebagai seorang Muslim, Durman tetap menjalankan ibadah puasa. Berpuluh kilogram beratnya ransel di punggung, tidak pernah membatalkan niatnya untuk terus berpuasa.
Saat itu, perlengkapan yang dibawa setiap prajurit memang cukup berat. Beberapa di antaranya berupa senapan otomatis AK-47, 750 butir peluru kaliber 7,62 mm, 3 magasin lengkung, 2 granat, bekal makan untuk beberapa hari, baju loreng, kaos, sepatu lapangan, dan topi rimba.
"Belum lagi setiap regu masih harus membawa senapan mesin RPD, peluncur roket RPG-2 buatan Yugoslavia, 60 peluru roket 90 mm, penyembur api lengkap dengan 5 mortir dan 18 butir peluru," ujarnya.
Pendiri dan komandan pertama Detasemen-81 Antiteror Kopassus ini melanjutkan, operasi yang dijalankan adalah operasi yang cukup berat dan banyak merenggut korban. "Kami di Kompi A mengawali operasi ini pada 7 Desember 1975 dengan kekuatan 110 orang prajurit. Tapi pada Maret 1976, jumlahnya bersisa menjadi 80 orang saja," ungkapnya.
Ada kalanya, Durman memasak makanan sendiri ketika merasa bosan dengan menu ransum tempur itu. Namun apa pun menunya, Durman tetap berpuasa dan tidak pernah batal. "Penasaran, saya pun bertanya kenapa dia tetap berpuasa di tengah kondisi seperti ini. 'Biar lebih dekat dengan Tuhan,' jawabannya yang tidak pernah saya lupakan," ucapnya.
Jawaban itu, kata Luhut seolah menunjukkan betapa fokusnya dia pada hubungan dengan Tuhan-nya. "Tapi bagi saya, Durman juga telah menunjukkan penghormatannya kepada tugas negara dan atasannya dengan tetap bertempur dan menyediakan makanan bagi saya selaku komandannya di Kompi A. Hebat!" tegasnya.
"Anak buah saya ini sekarang tinggal di Banten. Terakhir kami bertemu di acara reuni tahun lalu di Cijantung. Jika ada kesempatan, saya ingin Durman dapat menceritakan pengalamannya kepada saudara-saudari sekalian sehingga kita dapat belajar bahwa betapa indahnya harmoni di Negeri ini, jika kita dapat saling menghormati," tutup Luhut.
Selama lima bulan operasi, kompi yang dipimpin Luhut melakukan pertempuran setiap hari. Fierce battle istilahnya. Pertempuran berhadapan dengan pasukan Fretilin yang mempunyai motivasi tempur tinggi, kemampuan serta disiplin menembak prima, dan menguasai medan dengan sempurna.
"Di tengah operasi yang melelahkan tersebut selalu ada waktu untuk istirahat makan. Yang kami makan adalah bekal makanan kaleng T-1. Setiap siang Durman dengan setianya membukakan kaleng makanan dan menyodorkannya kepada saya," tuturnya.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait