JAKARTA, iNewsMadiun.id – Tandu berisi orang penting itu dipanggul empat orang. Mereka berjalan sigap menakhlukkan lembah, gunung dan perbukitan di belantara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjuangan itu harus dilakukan melalui hutan untuk menghindari sergapan serdadu Belanda.
Orang penting dalam tandu itu adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman, pemimpin gerilya dalam perang kemerdekaan melawan Belanda. Dari empat penandu itu ada yang masih hidup, yakni Djuwari. Kakek dengan 13 cucu dan tiga cicit itu tinggal di Dusun Goliman, Desa Parang, Kecamatan Banyakan, Kediri, Jawa Timur. "Yang penting sudah tahu manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul dari Goliman hingga Bajulan, itu masuk Nganjuk," ujar Djuwari saat ditemui beberapa waktu lalu.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan seperti saat memanggul tandu Jenderal Sudirman. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari.
Sorot matanya masih menyala. Menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Jenderal Sudirman itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Mata manusia dan semilir angir bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman, panggilannya kepada sang jenderal, adalah kebanggaan luar biasa. Dia mengaku tugas itu merupakan pengabdian yang dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apa pun. "Dulu gotong tandunya gantian, Mas. Kira-kira ada orang tujuh. Yang ikut manggul dari Goliman adalah Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) dan Djoyo dari (warga Goliman)," katanya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa. "Dari Bajulan (Nganjuk), saya dan pemikul lain terus balik ke Goliman. Waktu itu dikasih kain dan sarung,” ujarnya.
Menurut Djuwari, istrinya yang kini telah meninggal dunia amat senang menerima kain pemberian sang jenderal. Saking seringnya dipakai, kain sarung itu akhirnya rusak. Kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya. "Pak Dirman pesan, hidup itu harus rukun, sama tetangga saling sapa, satu desa harus rukun semua," katanya.
Sepanjang hidupnya menjadi mantan pemanggul tandu Jenderal Sudirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu sang panglima besar. Djuwari bercerita, pernah suatu kali dirinya diberi uang Rp 500.000. Setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto. Sesekali dia menerima bantuan beras.iNews Madiun
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait