SURABAYA, iNewsMadiun.id - Sekelompok orang yang mengorganisasi diri sebagai pelanjut cita-cita gerakan Darul Islam (DI) dan jaringan ekstrem kanan lainnya telah menyiapkan aksi pengeboman besar-besaran untuk menghancurkan Candi Borobudur sejak tahun 1983. Pada Rabu, 23 Februari 1983, seiring acara peresmian Candi Borobudur usai dipugar oleh Presiden Soeharto, bom direncanakan meledak.
Target peristiwa itu bukan hanya menghancurkan Candi Borobudur, tapi salah satu targetnya juga sang presiden. Siang itu dengan hati berdebar, para aktivis DI dan jaringannnya yakni Syahirul Alim, Sudjatmono, dan Marwan Ashuri memantau jalannya aksi melalui saluran radio RRI yang menyiarkan langsung peresmian Candi Borobudur.
Syahirul Alim merupakan aktivis DI yang berasal dari Bandung Jawa Barat. Sedangkan Sudjatmono dan Marwan Ashuri adalah mantan aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) Jawa Tengah yang dikenal ahli memobilisasi massa. Mereka berkumpul di rumah Ir. Sanusi, jejaring mereka di Jakarta yang rumahnya disetting menjadi pos jaga Apel Akbar. Namun sampai acara peresmian usai, tak ada kabar berita adanya ledakan bom di Candi Borobudur. Rencana menghancurkan Candi Borobudur gagal.
Termasuk rencana Apel Akbar yang akan langsung digelar begitu terdengar kabar Candi Borobudur meledak, juga tak bisa dilanjutkan. “Tentunya belum takdirnya untuk terjadi, manusia berencana sedangkan kepastiannya di tangan Allah semata, mungkin karena pelaksananya takut atau alatnya macet atau pelaksana itu tidak menemukan jalan yang aman untuk menempatkan bomnya di tempat yang strategis,” dalih Syahirul Alim, seperti tertulis dalam buku “NII Sampai JI, Salafy Jihadisme Di Indonesia”.
Belakangan terungkap kegagalan pengeboman Candi Borobudur disebabkan hal teknis. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Muhammad Jabir Abu Bakar alias Gandi alias Deddy di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat disebutkan, kegagalan itu karena mereka tak bisa membuat remote control untuk meledakkan bom dari jarak jauh. Rencana mengebom Candi Borobudur dan menggulingkan pemerintahan dilanjutkan aktivis LP3K (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat), yakni kelompok lain yang masih satu jaringan Darul Islam.
LP3K merupakan wadah seluruh jaringan BPMI (Badan Pembangunan Muslimin Indonesia) dan para kader pesantren kilat di Jawa Barat dan Jawa Timur. Baca juga: Tiket Masuk Borobudur Disebut Lebih Mahal Dibanding Angkor Wat, Triawan Munaf: Asbun! BPMI adalah tempat aktivis DI, yakni terutama Mursalin Dahlan melakukan kaderisasi. Pada tahun 1984, LP3K bersekutu dengan kelompok Syiah di Malang yang dipimpin Husein Al Habsyi dan Ibrahim Jawad.
Dalam buku “NII Sampai JI, Salafy Jihadisme Di Indonesia”, Solahudin menyebut, Husein Al Habsyi mengenal pemikiran Syiah setelah nyantri kepada Habib Husein bin Abu Bakar Al Habsyi pimpinan Pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YPI) di Bangil, Pasuruan yang sekaligus tokoh Syiah Jawa Timur. Sejak bermukim di Malang tahun 1983, Husein Al Habsyi rutin mengadakan majelis taklim di rumahnya. Sementara Ibrahim Jawad yang bernama asli Krisna Triwibowo merupakan mubaligh asal Lawang, Malang yang belum lama pulang dari Iran.
Semasa menjadi mahasiswa di kampus Jember, ia rajin mengaji di pesantren YPI Bangil. Ibrahim Jawad kerap mengisi pengajian di rumah Husein Al Habsyi. Kedua orang sepemikiran tersebut sama-sama terpesona dengan Revolusi Iran dan berniat mempraktikkannya di Indonesia. Para aktivis LP3K mengenal Ibrahim Jawad dan Husein Al Habsyi melalui Muhammad Achwan, aktivis pesantren kilat yang bertempat tinggal di Malang, Jawa Timur.
“Kedua kelompok ini langsung cocok karena punya kesamaan cita-cita menegakkan syariat Islam di Indonesia,” tulis Solahudin. Kedua kelompok (LP3K dan Syiah) kemudian bersepakat menyatukan kekuatan dan memberi nama Ikhwanul Muslimin yang meskipun tak ada hubungan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sebuah insiden berdarah yang terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984 semakin membulatkan tekad mereka untuk segera berkonsolidasi dan bergerak.
Candi Borobudur harus segera dihancurkan. Selain alasan lambang berhala atau pemujaan, juga sekaligus peringatan kepada keluarga Cendana yang kabarnya telah memegang pengelolaan bisnis Candi Borobudur. Baca juga: Pimpinan Khilafatul Muslimin Hasan Baraja Pernah Dipenjara Kasus Pengeboman Candi Borobudur Persiapan lapangan dilakukan Ibrahim Jawad, Abdul Kadir Al Habsyi (saudara Husein Al Habsyi) dan Achmad Muladawilah, yakni salah satu murid Al Habsyi yang dikenal paling galak.
Setelah melakukan survei beberapa hari, pemasangan bom di Candi Borobudur berhasil dilakukan. Pemasangan berlangsung malam hari dengan menempatkan 13 bom di titik-titik yang sudah ditentukan dan setelah itu langsung ditinggal pulang ke Malang. Bom disetel meledak pada dini hari tanggal 21 Januari 1985. Mereka memberi nama aksi mereka dengan kata sandi “Camping”.
Sesuai perhitungan. Ledakan pertama terjadi pukul 01.00 dini hari yang disusul ledakan lain dengan selang waktu berbeda. Meski empat bom gagal meledak, kerusakan yang ditimbulkan sembilan bom lain, luar biasa. Peristiwa itu juga menggegerkan dunia internasional mengingat Candi Borobudur belum setahun usai dipugar yang sumber dananya berasal dari Unesco, 28 negara asing dan 8 badan swasta internasional. “Bom-bom itu berhasil menghancurkan sembilan stupa beserta arca yang ada di dalamnya,” kata Solahudin.
Presiden Soeharto menuding pelaku peledakan adalah orang-orang yang didorong oleh fanatisme suatu golongan yang tidak mempunyai kebanggaan nasional. Kelompok jaringan esktrim kanan ini terbongkar setelah rencana mereka mengebom Bali pada bulan Maret 1985, gagal. Di tengah perjalanan menuju Bali, paket bom yang dibawa dengan mengendarai bus umum meledak di wilayah Desa Sumber Kencono, Banyuwangi. Abdul Kadir Al Habsyi yang selamat dan berusaha kabur, berhasil diringkus.
Satu persatu pengikut Husein Al Habsyi juga ditangkap, termasuk Sodik Musawa dan Achmad Muladawilah. Husein Al Habsyi selaku otak pengeboman baru ditangkap pada tahun 1990 di Garut. Sementara Ibrahim Jawad tidak diketahui kabarnya. Dalam peristiwa itu terungkap bahwa bahan-bahan peledak yang digunakan mengebom Candi Borobudur (dan rencana di Bali) berasal dari Lampung, yakni melalui bantuan Abdul Kadir Baraja, aktivis DI Lampung yang diduga juga terlibat dalam Komando Jihad.iNewsMadiun
Editor : Arif Handono