JAKARTA, iNewsMadiun.id - Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) mengawal Presiden Soeharto saat berkunjung ke Sarajevo, Ibu Kota Bosnia Herzegovina pada 1995 silam. Saat itu, negara pecahan Yugoslavia ini tengah dalam keadaan genting akibat perang saudara dengan Serbia. Sjafrie Samsoeddin, jenderal yang pernah menjabat Komandan Grup A Paspampres itu menceritakan bagaimana dirinya berupaya melindungi Presiden Soeharto dari ancaman penembak jitu atau sniper. Jenderal senior di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu mengungkapkan ketika itu tidak ada satu pun utusan di PBB yang dapat menjamin keselamatan Soeharto ketika hendak ke Bosnia.
Apalagi ketika itu, pria yang pernah menjabat sebagai Komandan Nanggala X Timor-Timur 1976 mendapat informasi pada 11 Maret 1995, pesawat PBB yang membawa utusan khusus PBB Yasushi Akashi ditembak jatuh ketika melintasi langit Bosnia. Informasi itu disampaikan kepada Presiden Soeharto. Namun Soeharto bergeming, dia tetap nekat dan bersikeras ingin melanjutkan lawatannya ke Bosnia.
Kebulatan tekad Soeharto mengunjungi Bosnia membuat PBB meminta Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Moerdiono dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas yang turut mendampingi agar membujuk Presiden Soeharto untuk mau menandatangani surat pernyataan yang isinya PBB tidak bertanggung jawab jika selama kunjungannya ke Bosnia terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tanpa keraguan, Soeharto langsung menandatangani surat tersebut dan melanjutkan perjalanannya ke Bosnia dengan menggunakan pesawat carteran Rusia.
Soeharto sebenarnya pergi membawa misi menengahi konflik serta menunjukkan simpatinya pada umat Muslim di sana yang mengalami penindasan oleh sekelompok etnis. Setelah satu jam perjalanan dari Bandara Kroasia, Soeharto akhirnya tiba di Bandara Bosnia. Namun, ketika sampai di Bosnia, tiba-tiba Soeharto menolak menggunakan rompi antipeluru yang sudah dipersiapkan. Bahkan, Soeharto meminta Sjafrie untuk membawakan rompi antipeluru tersebut. "
Eh Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," kata Sjafrie menirukan ucapan Soeharto, dikutip buku berjudul "Pak Harto: The Untold Stories", Senin (27/6/2022). Sikap Soeharto yang terbilang nekat itu membuat abituren Akademi Militer (Akmil) 1974 ini kebingungan. Apalagi, Sjafrie yang kenyang dengan pengalaman tempur di medan operasi melihat sangat banyak sniper menggunakan amunisi kaliber 12.7 mm di sekitar bandara dalam posisi siap tembak.
Sjafrie Sjamsoeddin saat mengawal Presiden Soeharto. (foto:IST)
Suasana pun semakin mencekam lantaran suara dentuman meriam sangat jelas terdengar. Dengan kemampuannya di bidang intelijen Sjafrie langsung meminjam jas dan peci hitam yang sama persis dengan yang dipakai Soeharto untuk mengelabui para sniper yang ada di sekitarnya. Mantan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) terus menempel Soeharto demi melindungi orang nomor satu di Indonesia ketika itu. "Ini untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," kata Sjafrie.
Soeharto kemudian disambut Pasukan Kontingen Garuda XIV yaitu prajurit TNI yang bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Bosnia. Soeharto dijemput menggunakan kendaraan lapis baja bertuliskan UN. Sjafrie langsung membawa Soeharto masuk ke kendaraan lapis baja tersebut menuju Istana Kepresidenan Bosnia untuk bertemu Presiden Bosnia Alja Izetbegovic. Meski telah masuk ke dalam kendaraan lapis baja bukan berarti sudah aman.
Selama perjalanan, Soeharto harus melewati sejumlah titik rawan dari para penembak jitu, sepeti Sniper Valley atau yang dikenal dengan sebutan lembah sniper. Di lembah itu sangat banyak penembak jitu yang siap membidik para targetnya. Rombongan Soeharto pun akhirnya tiba di Istana Kepresidenan Bosnia dengan selamat. Kala itu istana kepresidenan dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Mulai dari ketiadaan air, sehingga harus mengambil air bersih dengan ember hingga suara tembakan meriam dari jarak dekat dengan istana yang masih terdengar.Setelah tiga jam melaksanakan kunjungan, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia. Saat kembali ke Indonesia, Sjafrie sempat bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. "Kita ini pemimpin Negara Nonblok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, moralnya naik dan mereka menjadi tambah semangat," ucap Soeharto.
Mendengar jawaban Soeharto membuat Sjafrie terkesima. "Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” kata Sjafrie. Kunjungan bersejarah Soeharto itu menghasilkan berdirinya masjid megah di Ibu Kota Bosnia. Masjid yang dibangun dari hasil bantuan para dermawan Indonesia itu diresmikan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Hingga kini masyarakat Bosnia menyebut masjid itu dengan nama Masjid Soeharto atau Masjid Indonesia.
Editor : Arif Handono