Sutawijaya mengikat dirinya pada potongan kayu jati yang bernama Tunggul Wulung. Kayu itu kemudian dibiarkan hanyut terbawa arus air. "Bertapa dengan cara seperti ini sering disebut sebagai tapa ngeli, yang artinya bertapa mengikuti arus sungai," tulis Krishna Mihardja. Tubuh Sutawijaya yang berada di atas kayu Tunggul Wulung, terseret arus air hingga ke Laut Selatan. Di atas kayu yang diombang-ambingkan arus sungai dan ombak laut selatan, Sutawijaya tetap bertahan.
Tiba-tiba penglihatannya melihat sosok perempuan berbaju kebaya hijau dan berkain warna senada. Sutawijaya takjub. Dia melihat sosok wanita cantik itu berdiri di atas permukaan air. "Siapakah Anda yang sakti ini dan apa perlunya mendekati saya," tanya Danang Sutawijaya. Perempuan cantik itu tidak segera menjawab. Dia hanya tertawa lirih. Dalam kisah "Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak" digambarkan, di sela bibirnya yang merah, sederet giginya tampak putih bersinar. Angin yang bertiup kencang tiba-tiba menyingkapkan kain yang dipakainya.
Terlihat sekilas betis yang bersinar indah. Danang Sutawijaya terhenyak. Dia kembali terhenyak untuk yang kedua kali saat wanita cantik itu mengatakan dirinya adalah Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Danang Sutawijaya seketika terdiam. Saat ditanya penguasa laut selatan, apa tujuannya bersemedi hingga tiba di laut selatan, Sutawijaya mengungkapkan cita-citanya. Sutawijaya ingin Mataram tidak hanya sekedar menjadi kademangan. Tapi menjadi sebuah wilayah yang lebih besar dan berwibawa, yakni kerajaan.
Ratu Kidul menyatakan bersedia membantu. Dia berjanji akan membantu Sutawijaya mewujudkan cita-citanya. Namun penguasa Laut Selatan tersebut meminta persyaratan, yakni mulai Sutawijaya hingga anak dan cucunya kelak, bersedia menjadikan Ratu Kidul sebagai istri. Artinya siapa pun Raja Mataram nanti adalah suami penguasa laut selatan. Dalam kisah "Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak" Sutawijaya menganggap syarat tersebut bukan syarat, tapi sebuah anugerah.
Karenanya tanpa pikir panjang Sutawjiaya langsung menyatakan kesanggupannya. "Dengan senang hati, Ratu," kata Sutawijaya. Ratu Kidul itu pun kemudian menghilang. Sutawijaya kemudian mentas dari air dan melanjutkan semedinya di Lipura, yakni bagian hutan Mentaok paling selatan, tepatnya di sebelah barat Kali Opak. Di atas batu yang permukaanya rata, Sutawijaya tertidur. Ki Juru Mertani yang mencari keponakannya melihat cahaya biru dari langit yang jatuh ke tubuh Sutawijaya.
Ki Juru Mertani menangkap isyarat Sutawijaya kelak menjadi seorang raja besar. Dia juga mendengar penuturan Sutawijaya yang sempat bertemu Ratu Laut Selatan. Untuk menyempurnakan laku tirakat, Ki Juru Mertani lantas meminta Sutawijaya melanjutkan semedinya di Gunung Merapi. "Dengan bertapa di sana kau akan banyak belajar gelar perang, siasat perang dan semua yang berkaitan dengan peperangan kepada penguasa Gunung Merapi, Ki Sapujagad, dan Ki Udanangga," kata Ki Juru Mertani.
Cita-cita Danang Sutawijaya betul-betul terkabul. Dengan runtuhnya Kerajaan Pajang, pada tahun 1586 Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati. Masa pemerintahan Panembahan Senopati di Kerajaan Mataram Islam berlangsung 15 tahun. Panembahan Senopati meninggal dunia pada tahun 1601. Salah satu keturunannya yang membawa Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait