Kajian sholat dhuha, Gus Baha memberi peringatan bahwa amalan sunah hendaknya tidak dilakukan rutin sebagaimana amalan wajib. "Sholat dhuha merupakan ibadah sunnah yang jangan sampai diposisikan menyamai sholat fardhu," ujar Gus Baha.
Gus Baha mengingatkan orang bisa mendapatkan dosa apabila menyamakan derajat amalan sunah dengan amalan wajib. "Yang wajib setiap hari itu sholat fardhu, yang lain kadang-kadang saja," katanya, sebagaimana disiarkan sejumlah kanal di jaringan YouTube. Maka dari itu, hendaknya sholat dhuha tidak dilakukan setiap hari agar seseorang tidak sampai menyamakannya dengan sholat fardhu. "Sebab jangan sampai sholat sunnah malah seperti sholat fardhu," ujarnya.
“Kalau saya ini bukan ulama, pasti akan sering salat qabliyah, ba’diyah, witir, dan lain sebagainya. Tapi masalahnya kan ada etika; jika hal yang sunnah dilakukan terus menerus, ada kekhawatiran akan dianggap wajib,” jelasnya. Efeknya, kata Gus Baha, dalam konteks ilmu, ketika hal-hal sunnah dilakukan secara terus-menerus dan massif, maka muncul kekhawatiran hal itu akan dianggap wajib.
Padahal ulama-ulama kita, yang secara ibadah juga cenderung lebih khusyuk, mentradisikan yang sunnah haruslah tetap sunnah. Caranya? Dengan tidak melakukannya secara terus menerus dan menjadikannya rutinitas. Gus Baha lantas bercerita kalau Syaikh Abdul Qadir yang terkenal Sultan al-Awliya’ saja berfatwa dalam kitab Ghunyah dengan meriwayatkan sebuah kisah kalau Abdullah bin Mas’ud suka mendatangi dan memarahi orang yang sholat dhuha tiap hari.
“Kamu itu nambai sunnah Nabi, sholat Dhuha itu sebulan sekali saja!” kata Gus Baha membahasakan perkataan Abdullah bin Mas’ud. Pernyataan Abdullah bin Mas’ud dan fatwa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani tentang pelaksanaan sholat dhuha harusnya sebulan sekali, bukan berarti mengajak ummat untuk tidak rajin ibadah. “Sahabat Nabi kok malah ngajak ndak salat sunnah? Wali besar seperti Syaikh Abdul Qadir kok nyuruh agar gak rajin salat sunnah? Bukan seperti itu cara memahaminya," ujar Gus Baha.
Apa yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud dan yang difatwakan Syaikh Abdul Qadir adalah sikap orang-orang yang berilmu agar hukum Allah SWT tetap berjalan pada koridornya. Ibadah tentu saja bukan hanya soal gerak ritual dan jumlah angka-angka, ada aspek etika ibadah yang juga harus diterapkan. Di sinilah pentingnya ilmu agar ibadah seseorang tidak terjebak dalam hal-hal yang sebenarnya bukan substansi ibadah itu sendiri.
Tidak hanya Abdullah bin Mas’ud, kata Gus Baha, sahabat Abdullah bin Abbas juga sama. Kalau Abdullah bin Mas’ud sebulan sekali, Abdullah bin Abbas menganjurkan sholat dhuha seminggu sekali saja. Intinya, tidak merutinkan ibadah sunnah adalah cara yang paling mudah dan aman agar yang sunnah tetaplah sunnah.
Efek dari rutinitas yang dilangsungkan dalam konteks ibadah-ibadah sunnah, menurut Gus Baha, akan berpotensi melencengkan hukum Allah dari koridornya. Kalau dari Allah dan syariat sholat dhuha hukumnya sunnah, ya selamanya ia harus diposisikan sebagaimana layaknya ibadah sunnah.
Efek tersebut, menurut Gus Baha, akan melahirkan efek lainnya. “Makanya sekarang banyak orang Indonesia tidak sholat dhuha itu berkah. Seandainya semua orang di pasar sholat dhuha, suatu saat ada dua orang tidak sholat dhuha, maka dianggap fasik.” Waktu Dhuha Dalam buku "The Power of Sholat Dhuha" yang ditulis Zezen Zainal Alim, disebutan sholat dhuha dilakukan dua rakaat, tidak langsung dilakukan 4 rakaat.
Sinar waktu dhuha merupakan pertanda dimulainya aktivitas kehidupan di belahan bumi yang terkena pancarannya. Waktu dhuha adalah waktu ketika kondisi sinar matahari berada pada puncak konduktivitasnya untuk mendukung segala bentuk kegiatan manusia dan cita-cita yang diraih. Sholat dhuha dilakukan untuk meneguhkan langkah dan perwujudan dari doa-doa saat shalat tahajud di tengah malam, di tengah aktifitas yang kita jalankan.
Terdapat banyak keutamaan shalat dhuha. Dan jika perhatikan, Rasulullah SAW lebih banyak menekankan masalah akhirat. Kita simak beberapa hadis berikut, Pertama, hadis dari Abu Buraidah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فِى الإِنْسَانِ ثَلاَثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلاً فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ ». قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ
Dalam diri manusia terdapat 360 ruas tulang, wajib bagi semua orang untuk mensedekahi setiap ruas tulangnya.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang mampu melakukan hal itu, wahai Nabi Allah?” Beliau bersabda: “Menutupi ludah di masjid dengan tanah, menyingkirkan sesuatu dari jalan (bernilai sedekah). Jika kamu tidak bisa mendapatkan amalan tersebut maka dua rakaat Dhuha menggantikan (kewajiban)mu.” (HR Abu Daud 5242, Ahmad 23037 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعْثًا فَأَعْظَمُوا الْغَنِيمَةَ ، وَأَسْرَعُوا الْكَرَّةَ ، فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا رَأَيْنَا بَعْثًا قَطُّ أَسْرَعَ كَرَّةً ، وَلا أَعْظَمَ مِنْهُ غَنِيمَةً مِنْ هَذَا الْبَعْثِ ، فَقَالَ : أَلا أُخْبِرُكُمْ بِأَسْرَعَ كَرَّةً مِنْهُ ، وَأَعْظَمَ غَنِيمَةً ؟ رَجُلٌ تَوَضَّأَ فِي بَيْتِهِ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ، ثُمَّ تَحَمَّلَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّى فِيهِ الْغَدَاةَ ، ثُمَّ عَقَّبَ بِصَلاةِ الضَّحْوَةِ ، فَقَدْ أَسْرَعَ الْكَرَّةَ ، وَأَعْظَمَ الْغَنِيمَةَ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus sekelompok utusan perang, kemudian utusan ini membawa banyak harta rampasan perang dan pulangnya cepat.
Kemudian ada seorang berkata: “Wahai Rasulallah, kami tidak pernah melihat kelompok yang lebih cepat pulang dan lebih banyak membawa ghanimah melebihi utusan ini.” Kemudian Beliau menjawab: “Maukah aku kabarkan keadaan yang lebih cepat pulang membawa kemenangan dan lebih banyak membawa rampasan perang? Yaitu seseorang berwudlu di rumahnya dan menyempurnakan wudlunya kemudian pergi ke masjid dan melaksanakan shalat subuh kemudian (tetap di masjid) dan diakhiri dengan shalat Dhuha. Maka orang ini lebih cepat kembali pulang membawa kemenangan dan lebih banyak rampasan perangnya.” (HR Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6559, Ibn Hibban dalam Shahihnya no 2535, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib 664)
Ketiga, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يُحَافِظُ عَلَى صَلاةِ الضُّحَى إِلا أَوَّابٌ، وَهِيَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada yang menjaga shalat Dhuha kecuali para Awwabin” beliau mengatakan: “Shalat Dhuha adalah shalatnya para Awwabin” (HR Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya no. 1224, Hakim dalam Mustadrak 1182 dan dihasankan al-A’dzami) Awwabiin berasal dari kata Awwab, artinya orang yang kembali. Disebut Awwabin, karena mereka adalah orang yang kembali kepada Allah dengan melakukan ketaatan. (simak Faidhul Qadir 1/408).
Ada satu hadis, yang mungkin karena hadis ini masyarakat mengkaitkan sholat dhuha dengan pintu rezeki. Hadis dari Uqbah bin Amir al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ اكْفِنِى أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ
Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai anak adam, laksanakan untukKu 4 rakaat di awal siang, Aku akan cukupi dirimu dengan shalat itu di akhir harimu.” (HR. Ahmad 17390, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib 666 dan Syuaib al-Arnauth).
Jika kita perhatikan, hadis di atas tidak secara tegas menunjukkan bahwa sholat dhuha membuka kunci pintu rezeki. Hadis ini hanya menjelaskan janji Allah bagi orang yang shalat 4 rakaat di pagi hari, baik sholat subuh, qabliyah subuh atau sholat dhuha, akan dicukupi di akhir hari.
Itupun dengan syarat, sholat 4 rakaat di waktu pagi itu dilakukan ikhlas untuk Allah, bukan karena tendensi untuk dunia. Karena Allah berfirman, ”laksanakan untuk-Ku 4 rakaat..” kata untuk-Ku menunjukkan bahwa itu harus dilakukan dengan ikhlas. Wallahu'alam.
Editor : Arif Handono