KEISLAMAN masyarakat Lamongan menunjukkan berwajah moderat. Hal itu terpotret dari ekspresi keberagamaan yang penuh dengan kesejukan, saling toleran, damai, inklusif dan saling menghargai, meskipun mereka mayoritas dan hidup di tengah pluralistis sosial, agama, politik, golongan dan budaya. Sehingga, terbangun relasi sosial-keberagamaan antara mayoritas (Muslim) dengan minoritas (Kristen-Hindu) masyarakat Lamongan yang harmonis tanpa ada hegemoni dan diskriminasi mayoritas terhadap minoritas.
Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I. Foto:PWMU
Opini di atas, menurut saya proporsional dan sudah tepat dalam membaca ekspresi Keislaman masyarakat Lamongan. Hal itu disebabkan karakter budaya warga Lamongan dikenal ramah, lugas, energik, toleran-moderat, terbuka, memiliki kesadaran tinggi terhadap pendidikan anaknya. Dan memiliki semangat tinggi dalam melaksanakan kepercayaan dan ajaran Islam, fenomena tersebut oleh Prof Nur Syam disebut dengan istilah “Tus” semisal “Muhammadiyah Tus”-“NU Tus”. Walaupun begitu mereka saling menghormati antar sesama, sehingga semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di Lamongan dapat tumbuh sumbur dan damai.
Fakta sosiologis tersebut membantah opini dari pihak luar yang menggambarkan seolah-oalah wajah Islam masyarakat Lamongan penuh dengan kebencian, kekerasan, radikal dan intoleran. Opini tersebut terlalu sempit dan ada kesan hanya sebagai playing victim belaka, jika pembacaan dan argumentasi hanya didasarkan pada kasus yang pernah terjadi terkait kasus Amrozi (warga Solokuro Lamongan) yang terlibat pada kasus Bom Bali.
Selain itu, opini negatif tersebut hemat saya sangat tidak adil, sebab telah terjadi simplifikasi dangkal jika memotret wajah keislaman masyarakat Lamongan hanya didasarkan pada potret keislaman seorang Amrozi belaka. Artinya pola keislaman Amrozi dkk yang cenderung keras tidak dapat dijadikan dasar dalam membuat kesimpulan membaca wajah keislaman masyarakat Lamongan secara keseluruhan.
Jadi pembacaan terhadap ekspresi keislaman moderat masyarakat Lamongan yang penuh kesejukan, kedamaian, saling toleransi tidaklah berlebihan. Hal itu terungkap dari hasil riset saya bertema, “Praksis Moderasi Keagamaan Berbasis Kearifan Lokal Antar Umat Beragama (Islam-Hindu-Kristen) masa Pandemi Covid-19 di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan” pada tahun 2021-2022 yang didanai oleh LPDP-Kemendikbudristekdikti.
Hasil riset tersebut menunjukkan beberapa fakta sosiologis terkait pola keislaman masyarakat Lamongan yang menggambarkan wajah moderat penuh kesejukan, kedamaian dan saling toleran walaupun Islam sebagai agama mayoritas, tetapi bisa menjadi pengayom. Artinya jumlah mayoritas Islam tidak kemudian dijadikan alasan untuk menghegemoni apalagi melakukan bullying atau diskriminasi terhadap warga minoritas (Hindu-Kristen). Sementara di wilayah lain sering terjadi diskriminasi dan hegemoni antar mayoritas dengan minoritas beragama.
Pertama, masyarakat Lamongan yang plural-majemuk dapat hidup secara damai tanpa harus menegasikan atau berkonflik karena perbedaan agama, seperti yang terjadi pada masyarakat Balun Kec. Turi Kab Lamongan. Dalam satu desa terdapat tiga agama (Islam-Kristen-Hindu) secara jumlah Islam adalah agama mayoritas sekitar 80 % (79% Islam-NU, 1% Islam-Muhammadiyah), Kristen 15 % dan Hindu 5%, mereka hidup rukun-damai saling supporting dalam kegiatan sosial-kebudayaan dan kemanusian. seperti mereka saling hadir pada saat ada kegiatan selamatan kematian, kenduri, perayaan natal, pawai ogoh-ogoh, kerja bakti bersama dan sebagainya.
Kedua, wajah keislaman moderat yang sejuk-damai juga terpotret dari pola pemakaman masyarakat Balun yang dijadikan satu kompleks tanpa melihat kepercayaan agamanya, jadi dalam satu kompleks makam desa terdapat makam warga Muslim, warga Kristen dan warga Hindu, sehingga saya sebut dengan istilah “Kuburan Multikultural”. Disini terpotret sikap toleransi dan legowo masyarakat Muslim Lamongan, walaupun mereka mayoritas tetapi mereka memberi ruang untuk pemakaman warga minoritas yang berbeda agama (Kristen-Hindu). Sementara di tempat lain pola pemakanan disesuaikan dengan agama-masing-masing dalam satu kompleks.
Ketiga, kesejukan keIslaman juga terlihat dari lokasi tempat ibadah tiga agama (Muslim-Kristen-Hindu) terletak dalam satu kompleks. Jadi dalam satu kompleks berdiri tiga tempat ibadah masjid-Pura-Gereja yang saling berdekatan, walaupun saling berdekatan mereka saling menjaga dan menghormati dengan menyesuaikan kegiatan masing-masing agama agar tidak berbarengan atau saling mengalah.
Bagi warga Muslim yang mayoritas sangat toleran dan memberikan ruang yang sama kepada agama minoritas untuk mengamalkan ajaran agamanya di tempat ibadah masing-masing. sementara diwilayah lain kita masih sering mendengar dan menyaksikan terhadap fenomena pelarangan pendirian tempat Ibadah.
Dari potret di atas, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mereka (masyarakat Muslim Lamongan) dapat menampilkan wajah ekspresi keislaman moderat penuh kesejukan kedamaian di tengah pluralitas keagamaan (Islam-Hindu-Kristen) dan mereka mayoirtas? Sementara di tempat lain pluralitas keagamaan dan mayoritas anggota sering dijadikan alat untuk perpecahan, permusuhan, konflik bahkan saling membunuh?
Jawabannya adalah masyarakat Muslim Lamongan terutama warga Muslim Desa Balun dapat saling mengendalikan ego fanatisme keagamaannya, dapat saling mengalah dalam membangun relasi sosial-keagamaan dan mereka mampu membangun kohesi antara nilai moderasi dengan kearifan lokal yang berkembang dimasyarakat, sehingga mereka mampu memraksiskan nilai moderasi dan kearifan lokal dalam membangun kehidupan masyarakat keberagamaan yang sejuk-damai dan penuh kebersamaan. Hal itu tentu dapat dijadikan proses pembelajaran bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk secara Suku-Agama-Ras-Golongan (SARA) untuk dapat belajar membangun kehidupan sosial-keagamaan dari masyarakat Muslim Lamongan yang sejuk-damai.
(Penulis adalah Peneliti Pusat Pengkajian-Pengembangan Masyarakat Islam/
(P3MI) Pascasarjana UM-Surabaya)
Editor : Arif Handono