JAKARTA, iNewsMadiun.id - Penjajah Jepang selama menduduki Indonesia (1942-1945) memiliki kebiasaan kekerasan. Mereka kerap menempeleng (memukul) kepala orang-orang Indonesia meski hanya disebabkan kesalahan sepele.
Sasaran yang dituju selalu kepala. Biasanya, tamparan yang dilayangkan disusul sejumlah bogem pada tubuh. Kebiasaan berlaku kasar itu menjadi perhatian Mohammad Hatta atau Bung Hatta saat pertama kali menerima tawaran Pemerintah Jepang bekerja di Kantor Penasihat Umum.
Bung Hatta meminta kebiasaan menempeleng kepala orang-orang Indonesia sebaiknya dihentikan. Bagi adat istiadat orang Indonesia, tempeleng kepala merupakan penghinaan yang menimbulkan rasa malu. Rasa malu yang tak tertahankan bisa menjadikan gelap mata sekaligus berbuat nekat.
“Kepala bagi orang Indonesia, kata Hatta dipandang sebagai bagian yang suci pada badan manusia,” tulis Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta Biografi Politik (1990).
Bung Hatta optimistis nasihatnya akan diperhatikan. Sebab sejak penjajah Jepang berhasil memaksa Kolonial Belanda menyerah, dia menjadi salah satu tokoh pergerakan Indonesia yang dipercaya. Kolonial Belanda menyerah pada tentara Jepang pada 8 Maret 1942.
Di Kalijati, Jawa Barat, Jenderal Ter Poorten menyerahkan kekuasaan tanpa syarat kepada Jenderal Hitoshi Imamura. Di waktu yang sama itu Hatta diajak kerja sama. Ia tak mampu menolak karena mengingat sifat kejam fasisme Jepang.
Di sisi lain, dengan bekerja sama Hatta berfikir sebuah kesempatan menyusun kekuatan sekaligus meringankan beban penderitaan rakyat. Sutan Sjahrir lolos dari ajakan kerjasama, karena Jepang kurang mengenal namanya sebagai pemimpin nasional. Ia kemudian memilih bergerak di bawah tanah.
Editor : Arif Handono