JAKARTA, iNewsMadiun.id - Hari-hari terakhir, Serda Usman dan Kopral Harun di Singapura terasa lambat. Tiang gantungan sudah terpasang di penjara Changi, Singapura. Sebelum dieksekusi mati di tiang gantungan pada 17 Oktober 1986, dua prajurit KKO TNI Angkatan Laut "pamit" kepada kedua orang tua di Indonesia. Dalam surat tersebut, keduanya meminta keluarga mengikhlaskan kematian keduanya.
Berikut petikan surat Serda Usman bin Haji Ali dari Singapura kepada orang tuanya yang dikirim sehari sebelum pelaksanaan hukuman gantung.
Serda KKO Usman dan Kopral KKO Harun (Foto: IST)
In replying to this letter, please write on the ennelope Number Cond, 215/65 Name : Osman bin H. Mhd. All. Changi Prison, 16 Oktober 1968.
Dihaturkan Bunda ni Haji Mochamad Ali
Tawangsari.
Dengan ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini tetap mendo’akan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Rodiijah + Tur dan keluarga semua para sepuh Lamongan dan Purbalingga Laren Bumiayu.
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan dengan nasib dinda dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan, maka perlu ananda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda + keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas anaknda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 Hari Kamis Radjab 1388.
Sebab itu sangat besar harapan anaknda dalam menghaturkan sudjud di hadapan bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Khodijah + Turijah para sepuh lainnya dari Purbolingga Laren Bumiayu + Tawangsari dan Jatisaba sudi kiranya mengickhlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengaja maupun yang tidak anaknda sengaja.
Anaknda di sana tetap memohonkan keampunan dosa + kesalahan Bunda + saudara semua di sana dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Anaknda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersukurlah sebanyak banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib anaknda sedemikian mustinya.
Sekali lagi anaknda mohon ampun + maaf atas kesalahan + dosa anaknda ke pangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi + Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu. Anaknda, Ttd.
(Osman bin Hadji Ali)
Bersama Serda Usman, Kopral Harun juga mengirimkam surat terakhir kepada kedua orang tuanya.
Berikut isi surat Kopral Harun bin Said Tohir yang dikirim pada 14 Oktober 1968, tiga hari sebelum eksekusi hukuman gantung.
Dihaturkan Yang Mulia Ibundaku Aswiani Binti Bang.
yang diingati siang dan malam.
Dengan segala hormat.
Ibundaku yang dikasihani surat ini berupa surat terakhir dari ananda Tohir.
Ibunda sewaktu ananda menulis surat ini hanya tinggal beberapa waktu saja ananda dapat melihat dunia yang fana ini, pada tanggal 14 Oktober 1968 rayuan ampun perkara ananda kepada Presiden Singapura telah ditolak jadi mulai dari hari ini Ananda hanya tinggal menunggu hukuman yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968.
Hukuman yang akan diterima oleh ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini ananda harap kepada Ibunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia adalah tidak siapa yang boleh menentukan satu-satunya yang menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam dunia ini tetap akan kembali kepada Illahi.
Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan ananda selama ini sudilah Ibundaku menerima ampun dan salam sembah sujud dari ananda yang terakhir ini, tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan Selamat Tinggal untuk selama-lamanya amin.
Hormat ananda,
Ttd. Harun Said Tohir Mahadar
Jangan dibalas lagi.
Dari/Ananda Harun Said Tohir Mahad
Alamat di sampul surat. Cond, 216/65 Changi Prison
Diaturkan kepangkuan S’pura 17 Ibunda Aswiani Binti Bang. Gang 60 no. 11 Tanjung Priok Jakarta - Indonesia.
Diceritakan dalam buku '60 Tahun Pengabdian Korps Marinir', hukuman mati yang diterima Serda Usman dan Kopral Harun merupakan bagian dari tugas mereka sebagai prajurit TNI. Namun keputusan ini sangat disesalkan pemerintah Indonesia.
Presiden Soeharto saat itu mengirim utusan khusus yang berupaya membebaskan atau minimal mengubah keputusan hukuman Usman-Harun menjadi seumur hidup. Tetapi semua upaya diplomatik kandas.
Jenazah Serda KKO Usman dan Kopral KKO Harun saat tiba di Tanah Air. (Foto: IST)
Tepat pukul 06.00 pagi, Kamis 17 Oktober 1968, Usman dan Harun harus menjalani hukuman dan gugur sebagai martir pada tali gantungan di penjara Changi, Singapura.
Setibanya di Tanah Air, jenazah keduanya disambut rakyat Indonesia sebagai pahlawan. Ribuan orang memberikan penghormatan terakhir sejak dari bandara dan sepanjang jalan yang dilalui hingga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanan jiwa raganya pada bangsa dan negara, pemerintah Indonesia menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti. Keduanya juga diangkat sebagai Pahlawan Nasional, dan mendapat kenaikan pangkat, yakni Usman menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun menjadi Kopral Anumerta KKO. iNews Madiun
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait