Sementara Soekarno atau Bung Karno masih berada di Bengkulu. Bung Hatta sejak awal menganalisa Jepang tak akan lama berkuasa. Tanpa harus berperang di Pulau Jawa, dugaannya Sekutu akan mudah menundukkan Jepang. Cukup dengan menyerang pangkalan Jepang di Cina Selatan, daerah-daerah pendudukan Jepang akan lepas, termasuk Indonesia.
Pandangan-pandangan militer Hatta membuat dirinya berturut-turut dipercaya sebagai penasihat militer Pemerintah Jepang di Indonesia.
Selama 1942-1943 ia menjadi salah satu dari pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (1942-1943). Hatta juga dipercaya sebagai salah satu pemimpin Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai).
Kemudian juga menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Tyuo Sangi-in), Penasihat (Sanyo) Departemen Perekonomian sekaligus merangkap Ketua Dewan Penasihat-Penasihat (Dewan Sanyo).
Saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta juga menjadi anggota BPUPKI (1945) dan Wakil Ketua PPKI (1945).
Sebagai penasihat militer pemerintah Jepang di Jakarta, Hatta memperoleh tempat tinggal sendiri di Jalan Diponegoro No 57.
Kantor Penasihat Umum tempatnya bekerja menyandang tugas sebagai penghubung antara pihak Jepang dengan para pemimpin Indonesia.
Hatta diberi keleluasaan berkantor sendiri dengan staf yang dipilihnya sendiri. Umumnya, mereka semua berasal dari orang-orang pergerakan. “Termasuk A. Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkusumo, Supomo dan Margono Djojohadikusumo,” seperti dikutip dari Memoir Mohammad Hatta (1979).
Dengan sarannya kepada Jepang untuk menghentikan kebiasaan menempeleng kepala, kantor Hatta tidak hanya menjadi penghubung.
Kantor Penasihat Umum itu juga menjadi tempat rakyat menyampaikan keluh kesah atas perlakuan kasar orang-orang Jepang.
Selain penghentian kebiasaan menempeleng kepala, perhatian Bung Hatta juga tertuju pada tradisi saikeirei Jepang. Saikeirei merupakan tradisi orang Jepang menghormati kaisarnya yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Setiap pagi badan dibungkukkan 90 derajat dengan ke arah Tokyo.
Pemerintah Jepang mewajibkan tradisi saikerei kepada pegawai pemerintah, murid sekolah dan masyarakat dalam upacara rutin dan setiap upacara resmi.
Saat membungkukkan badan, mereka juga diharuskan mengucap sumpah yang intinya bertekad bulat dan taat berjuang bersama Jepang.
Hatta menjelaskan jika ritual saikeirei menyerupai rukuk dalam ibadah Islam. Menghormat dengan cara saikeirei sama halnya melebih tinggikan Tenno Heiko daripada Allah. Hatta secara tidak langsung menyampaikan aspirasi aktifis Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yakni cikal bakal Masyumi yang menolak saikeirei.
“Hatta mengemukakan bahwa cara saikeirei ini menusuk hati umat Islam, karena dihubungkan dengan rukuk tadi,” tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik.
Dalam praktiknya, penjajah Jepang tetap memberlakukan saikeirei. Mereka yang menolak, seringkali diperlakukan kasar. Dalam catatan sejarah, Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945), yakni ayah Hamka menolak saikeirei. Demikian pula Hadratussyaikh Hasyim As’yari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga melakukan sikap sama.
Dalam perkembangannya, Hatta melihat Jepang tidak lagi membiarkan pergerakan rakyat berkembang. Rakyat dilarang berkumpul dan berserikat.
Pada Juli 1942 Jepang membubarkan semua perkumpulan. Hal itu membuat sikap rakyat kepada Jepang berubah.
Rakyat yang semula menyambut hangat kedatangan Jepang, termasuk mengibarkan merah putih bersanding Hinomaru serta sorakan banzai, berubah dingin. Sejarah mencatat, paska peristiwa bom atom Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan disusul Nagasaki pada 9 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu.
Kekosongan kekuasaan itu dimanfaatkan para pemimpin pergerakan Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani Soekarno dan Mohammad Hatta berkumandang di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
iNewsMadiun
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait