“Lain waktu mereka mengunjungi para pemimpin agama untuk membicarakan serta belajar tentang hal-hal yang terkait dengan hakikat agama dan (pengalaman) mistik,” kata Marcel Bonneff dalam Matahari dari Mataram, Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram.
Pada usia 20 tahun atau menjelang tahun 1920, Ki Ageng Suryomentaram membuat keputusan yang betul-betul mengubah jalan hidupnya.
Ia bagi-bagikan semua kekayaan pribadinya kepada orang lain dengan cuma-cuma. Mobil pribadinya ia berikan kepada sopirnya. Kuda-kudanya ia hibahkan kepada tukang kuda yang biasa merawatnya.
Baginya kepemilikan materi hanya menjadi penghambat mencapai kebahagiaan hakiki.
Ki Ageng Suryomentaram juga menolak pengangkatannya sebagai pangeran, dan sekaligus meminta gelar kepangeranannya tidak diumumkan.
Pada tahun 1921 saat Sultan Hamengkubuwono VII lengser dan digantikan Sultan Hamengkubuwono VIII, ia keluar dari kraton dan memilih tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga. Tunjangan hidup yang sempat ditawarkan Belanda, ditolaknya.
Ki Ageng Suryomentaram memilih hidup sebagai petani, berpakaian layaknya petani, yakni celana pendek dipadu sabuk kulit yang umum dikenakan petani saat itu.
Pada tahun 1925 masyarakat di sekitarnya mengenalnya sebagai Ki Ageng Bringin, ahli spirititual yang menjadi rujukan rakyat dalam meminta nasihat dan bantuan.
Kemunculannya pada tahun 1931 di makam ayahnya di Imogiri, menggemparkan para kerabat kraton. Penampilannya yang sama dengan rakyat jelata, termasuk cara bicaranya yang tak lazim, dipandang sebagai hal yang ganjil. Ada yang menganggap Ki Ageng Suryomentaram telah kehilangan akal sehatnya.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait