MADIUN, iNews.id -
Walaupun bukan barang warisan, memegang keris berluk 13 yang berdapur Korowelang dan bertangguh Segaluh ini serta –merta membawa alam imajinasi melayang ke masa kolobendo di suatu daerah di Pasanggrahan, Rajapolah, Tasikmalaya -tempat dimana nenek moyang dari pihak bapak, H Syamsuddin bin Syafei, berasal. Bagi yang pernah lewat jalur Bandung menuju Tasimalaya, posisi Rajapolah sangat mudah ditemukan karena ditandai banyaknya toko penjual anyaman bambu yang tersebar di sepanjang jalan.
Menilik nama desa dan kecamatan, sejak lama muncul pertanyaan sekaligus bayangan apakah Prabu Siliwangi pernah tetirah dan membuat pesanggarahan atau tempat istirahat di daerah ini, serta membuat polah atau geger di daerah tersebut dengan membawa keris Korowelang. Mengacu pada kelaziman di Jawa, nenek moyang memberikan nama suatu daerah berdasar peristiwa yang terjadi atau tetenger yang ada.
Pesanggrahan memang tempat yang nyaman nan damai untuk ditinggali.Dengan topografi sedikit berbukit, air mengalir tiada henti yang membuat tanah menjadi subur, dan memungkinkan masyarakat membuat balong-balong di halaman rumah yang secara tradisional ditanami ikan mas dan gurameh yang siap dijaring dan dinikmati bersama lalapan atau dijadikan pepes kapan pun. Dan satu lagi, banyak perempuan cantiknya yang bisa jadi mewakili definisi mojang priangan yang sampean bayangkan. Suasana nyaman dan damai pun menjadi kian syahdu hehe.
Prabu Siliwangi membawa keris? Bagi masyarakat kebanyakan memang terdengar janggal. Bisa dimaklumi karena Prabu Siliwangi sangat identik dengan kujang. Padahal sebenarnya keris menjadi bagian peradaban yang melekat kuat dan mewarnai sepanjang kerajaan Sunda dan Galuh. Namun, keris senjata atau ageman memang tidak membumi di masyarakat Sunda secara luas karena memang sifatnya ekslusif, yakni hanya dipegang kalangan bangsawan. Barangkali karena alasan inilah,keris Pajajaran atau Segaluh garapannya alus, tebal,dan gagah yang menjadi cermin kemewahan dan keperkasaan.
Mengutip catatan “ Keris di Mata Masyarakat Sunda” (Tapak.id), salah satu literalur paling tua masyarakat Sunda yang ditemukan menunjukkan keris sebagai bagian budaya yang ada. Naskah yang berangka tahun 1518 Masehi itu menuliskan tosan aji ini sebagai salah satu hasil tempaan yang ada di wilayah tersebut. Secara spesifik, naskah yang ditulis di daun lontar itu menyebut keris sebagai ageman eksklusif sang prabu atau raja selain pedang, abet (cambuk), pamuk, golok, dan peso teundeut. Sedangkan kelompok lain seperti pendeta, petani dan lainnya memiliki pegangan berbeda.
Kondisi ini tentu berbeda dengan di Jawa. Mulai dari bangsawan, agamawan, pedang, petani hingga rakyat jelata pun semuanya bisa memegang dan memilik keris. Tome Pires, seorang penjelajah dari Portugis pada awal abad 16, menulis kesaksiannya saat mengunjungi pulau Jawa, "Setiap orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah, maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai... Tidak ada laki-laki yang berumur antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris terselip di sabuk"(www.kratonjogja.id/kagungan-dalem/10 keris-bagi-masyarakat-jawa).
Walaupun semua memegang keris, masih ada yang membedakan keris seperti yang diagem masing-masing kelompok masyarakat.Di antara pembedanya ada dapur dan luk berapa yang dibawa. Karena itulah, keris juga menjadi lambang atau simbol untuk menyatakan legitimasi jabatan atau kekuasaan, lambang status, identitas masyarakat Jawa (https://www.detik.com/.../asal-muasal-keris-dari-jawa...).
Keris Korowelang yang berluk 13 memang identik dengan raja atau pemimpin karena angsarnya diidentikkan dengan kewibawaan. Tercatat Pangeran Sambernyowo menjadikan keris dapur ini sebagai agemannya.Keris Kanjeng Kiai Korowelang masih tersimpan dengan baik di Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Raja atau pemimpin lain yang dikisahkan memegang keris atau tombak Korowelang atau Pandu Dewanata raja Hastinapura dan Presiden Soekarno.
Karena tuahnya kewibawaan, konon Keris Korowelang ini menjadi pusaka kerajaan Majapahit yang digunakan untuk menyatukan wilayah mandalanya, meredam ontran-ontran, dan menghentikan bencana alam, menjadi pusaka untuk melawan penjajah seperti ditunjukkan Sambernyowo hingga menjadi wasilah untuk mewujudkan ‘toto titi tentrem toto raharjo, gemah ripah loh jinawi’(https://www.hartalangit.com/.../makna-keris-dan-tombak...).
Di balik itu, keris Korowelang memiliki makna yang luas dan mendalam. Secara letterlijk, korowelang berasal dari perpaduan kata kolo atau waktu dan welang yang merupakan ulang berbisa nan mematikan. Namun secara filosopis, korowelang berasal dari ‘perkoro piweling lan piwulang’ yang mengajarkan agar kita memanfaatkan waktu di dunia yang hanya sebentar untuk beribadah kepada Tuhan YME dan berbuat baik -seperti disebut dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 56 ( Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu). Sebaliknya jika disia-siakan, maka waktu yang terbuang itu akan menjadi ular berbisa yang mematikan karena hanya mendatangkan celaka yang sesungguh-sungguhnya.
Nasehat untuk taat beribadah juga terselip di angka ‘13’ yang merupakan jumlah luk keris Korowelang. Angka keramat tersebut merupakan jumlah rukun sholat. Bila sholat merupakan tiang agama, maka pesan yang disampaikan lewat keris luk 13 tersebut adalah agar pemegangnya selalu melaksanakan sholat.
Masih dalam konteks spiritual Jawa, angka 13 dimaknai sebagai las-lasaning urip atau akhir kehidupan –bukan angka sial seperti dipahami khalayak. Kemana cerita akhir kehidupan, ya kembali Sang Pencipta. Karena itu, keris luk 13, termasuk juga sengkelat di dalamnya, disebut sebagai perwujudan mustikaning manemnbah (intisari bersujud (kepada Alloh SWT)).
Selain makna di atas, keris luk 13 juga memiliki filosopi mendalam lain. Apa itu? Seperti ditulis dalam facebook warung gaib: keris luk 13, termasuk di dalamnya keris Sengkelat, juga memiliki filosopi tri welas: welas ing sesami, welas ing sato iwen, lan welas ing tetuwuhan. Muara dari tri welas dimaksud adalah keselarasan antar sesama manusia, lingkungan dan alam, serta dengan Tuhannya.
Dengan senantiasa melaksanakan ibadah sebagai wujud penghambaan manusia pada Sang Pencipta seperti diingatkan keris Korowelang dan filosopi yang diajarkan dalam luk 13, serta melakukan penyelarasan diri dengan sesama manusia, alam, dan Tuhannya, maka para raja atau pemimpin yang memegangnya akan memilik jiwa tenang dan pikiran yang matang, hingga memiliki kestabilan dalam bersikap dan bertindak. Kestabilan inilah yang pada akhirnya membentuk kewibawaan.(*)
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait