JAKARTA, iNewsMadiun.id - Akar masalah pemberontakan PKI Madiun, Jawa Timur yang terjadi pada tahun 1948, dipicu beberapa sebab. Hal ini terungkap dalam buku Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI AD, dikutip pada Sabtu (24/9/2022). Salah satu sebab yakni Keputusan Presiden 2 Januari 1948 dan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1948 tentang Rasionalisasi dan Penempatan Angkatan Perang Mobil di Bawah KSAP yang lebih yunior.
Sebab berikutnya, pengurangan kekuatan pasukan dari 350.000 prajurit TNI dan 470.000 Laskar Perjuangan menjadi hanya 160.000 prajurit. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penentangan dari para prajurit, khususnya Laskar Perjuangan. Rasionalisasi ini perlu dilakukan karena berkurangnya wilayah kekuasaan RI, yang saat itu hanya meliputi Yogyakarta, Karesidenan Besuki, dan Aceh akibat perjanjian Renville yang diprakarsai Perdana Menteri (PM) Amir Syarifudin.
"Sementara negara dalam keadaan bahaya perang menghadapi Agresi Belanda II, rasionalisasi ini telah menyebabkan pertentangan," seperti dikutip dari buku Konflik dan Integrasi TNI AD halaman 30, Sabtu (24/9/2022). "Antara TNI dan Laskar Perjuangan yang dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) serta antara Divisi I Jawa Barat yang hijrah ke Solo dengan Divisi IV Solo yang menganggap Divisi I sebagai saingannya," sambungnya.
Selama Amir Syarifudin menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) mulai 13 Oktober 1945 hingga Desember 1947, ia telah menyusun TNI dengan menguasai kelaskaran sebanyak seperempat dari tiap divisi, pepolit, dan biro perjuangan untuk mendukung Perjanjian Linggarjati dan Renville. Dengan adanya rasionalisasi pada Januari 1948, kekuatan kiri menjadi hilang sepertiganya dan Amir Syarifudin menjadi anti perundingan yang telah dirintis olehnya.
Pada saat TNI sibuk menghadapi Belanda, Amir Syarifudin bergabung dengan Musso yang baru diangkat menjadi Ketua PKI dan memproklamirkan Republik Soviet Indonesia pada 18 September 1948 di Madiun dengan dukungan Brigade 29. Akibatnya, untuk pertama kalinya Divisi I/Siliwangi diserang oleh Brigade 29 di Solo dan Panglima Divisi IV Solo memerintahkan Divisi I/Siliwangi agar keluar dari Solo.
Bersamaan dengan kejadian itu, Letkol Marhadi dari Staf Pertahanan Jawa Timur dibunuh pemberontak. Mayjen Joko Suyono, seorang perwira pepolit dan TNI bagian masyarakat memimpin komando militer pemberontakan PKI yang berasal dari Pesindo. Akhirnya, pemerintah menyatakan gerakan PKI adalah suatu pemberontakan dan Divisi I/Siliwangi ditugaskan untuk menumpasnya bersama Divisi Sungkono dari Jawa Timur.
Secara berangsur-angsur, Divisi IV Panembahan Senopati yang bertentangan dengan Siliwangi ikut dilibatkan untuk menumpas pemberontakan. Pada peristiwa pemberontakan PKI Madiun ini, banyak tokoh masyarakat dan ulama dari kalangan NU yang terbunuh, sehingga menimbulkan dendam terhadap PKI.
Dalam rangka meredam pemberontakan PKI dan menghadapi Agresi Belanda II, maka dibentuk pemerintahan militer di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto di Solo dan Mayjen Bambang Sugeng di Madiun. Sedangkan Mayjen AH Nasution sebagai Wakil Panglima Besar TKR/Kasop membuat konsep satuan tempur dan satuan teritorial yang bertugas menyiapkan kekuatan rakyat dan pengendalian keamanan seperti Komando Distrik Militer (Kodim) untuk Kabupaten dan Onder Distrik Militer semacam Koramil untuk Kecamatan sebagai sistem pertahanan rakyat semesta.
Selanjutnya,pada 31 Oktober 1948, Musso berhasil ditembak mati dalam pertempuran kecil yang terjadi di Ponorogo. Amir Sjarifudin pada akhirnya juga berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama tokoh-tokoh kiri pendukung pemberontakan PKI Madiun lainnya. Dalam waktu dua bulan operasi pembersihan sisa-sisa PKI dapat diselesaikan sebelum Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait