Kisah 3 Murid Tjokroaminoto yang Mengambil Jalan Berbeda: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo

SINDOnews
Rumah HOS Tjokroaminoto di Kampung Peneleh VII Surabaya yang menjadi pabrik tokoh pergerakan bangsa. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsMadiun.id - Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto dikenal sebagai guru pemimpin-pemimpin besar Indonesia. Rumahnya di Kampung Peneleh VII, Surabaya pernah menjadi tempat tinggal bagi tokoh-tokoh pergerakan mulai dari Soekarno, Alimin, Muso, Semaoen, Kartosowirjo hingga Tan Malaka.

 

Tjokroaminoto merupakan tuan rumah yang memegang kendali di Kampung Peneleh. Dia dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakkan massa, peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.

BACA JUGA:
Mengenal Rumah Tjokroaminoto di Surabaya, Dapur Peracik Nasionalisme Soekarno

Kampung Peneleh menjadi markas utama bagi Tjokroaminoto untuk membakar semangat bangsa Indonesia melawan kolonial. Ketika dirinya memutuskan untuk menentang karakter feodal, Tjokroaminoto memilih jalan di luar kemapanan.

 

Rumah Tjokroaminoto tak begitu luas, ada ruang tamu yang di dalamnya terdapat kursi terbuat dari kayu jati. Bagian depan rumah didiami Tjokroaminoto bersama istrinya Soeharsikin serta empat anaknya Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, dan Sujud Ahmad.

BACA JUGA:
Kisah Saung Ranggon Bekasi, Ternyata Tempat Singgah Pangeran Jayakarta dan Pertapaan Soekarno
 

Sementara bagian belakang dibuat kamar-kamar berukuran kecil yang ditepati para tokoh pergerakan.

Tiap malam, di Kampung Peneleh diskusi selalu digelar. Tjokroaminoto memberikan kebebasan bagi penghuni kosnya untuk menelurkan gagasan kemerdekaan. Membumikan siasat perlawanan pada kolonial. Dalam satu diskusi mereka kerap melempar argumentasi dan gagasan yang dianggap tak biasa.

Tjokroaminoto yang menjadi simpul serta rotasi gerakan massa selalu didatangi para tokoh kemerdekaan. Melalui gerbong Sarekat Islam (SI), Tjokroaminoto menjadi motor gerakan massa pertama paling progresif di Indonesia saat itu.

Namun, Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo memiliki pemikiran dan mengambil jalan perjuangan yang berbeda. Soekarno membentuk Partai Nasional Indonesia, Semaoen mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Kartosoewirjo berjuang melalui Darul Islam.

1. Soekarno

Soekarno (foto:istimewa)

Soekarno selalu mengingat salah satu pesan Tjokroaminoto.

"Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulis lah seperti wartawan, dan bicara lah seperti orator," kata Tjokroaminoto.

Setiap Soekarno belajar berpidato, suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto seperti Muso, Alimin, Kartosoewirjo, dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.

Bahkan, sering kali saat Soekarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya yang lebih senior memintanya untuk berhenti karena merasa terganggu. Namun, Soekarno tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap.

Salah seorang kawan Soekarno di rumah Tjokroaminoto yang tidak pernah bosan memberikan kritik atas pidato-pidatonya adalah Kartosoewirjo. Namun, tidak jarang kritik yang dilontarkan Kartosoewirjo lebih kepada ejekan.

“Hei Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja,” kata Kartosoewirjo suatu kali kepada Soekarno yang tengah belajar berpidato.

Mendengar celetukan itu, Soekarno diam saja dan terus melanjutkan pidatonya.

Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosoewirjo. Kalimat pertamanya yaitu penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai

persiapan untuk menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas ejekan kawannya itu.

"Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar,” kata Soekarno dibarengi oleh tawa keduanya. 

Peristiwa itu terus berulang di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa.

Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak nasionalis.

2. Kartosoewirjo

Kartosoewirjo (foto istimewa)

Sementara Soekarno mendirikan partai politik, Kartosoewirjo terus berjuang bersama Tjokroaminoto. Dia bahkan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya. 

Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah dan ke kiri-kirian seperti kebanyakan temannya.

Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. Dengan marxisme sebagai pisau analisis, pemikiran Kartosoewirjo tentang penghisapan kapitalisme semakin tajam, dan kritis. Karier politiknya pun terus melonjak.

Perpecahan mulai timbul setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik-menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.

Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi mulai dari marxis, Alquran, dan Islam serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asas Pancasila.

Menurutnya, Pancasila merupakan ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.

Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas pemerintah Republik Indonesia.

Pemberontakan hebat selanjutnya datang dari Kartosoewirjo, saat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII), di Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949. Pemberontakan ini bahkan sanggup menyebar ke Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Pemberontakan Kartosoewirjo berhasil ditumpas dengan tertangkapnya dia oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.

Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno saat harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosoewirjo. Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartosoewirjo tidak akan ditembak mati.

Proses eksekusi terhadap Kartosoewirjo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya.

Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustrasi, hingga akhirnya dia lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya, Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah untuk kembali.

Megawati menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampuradukkan antara hakikat persahabatan dengan tugasnya.

Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosoewirjo. Seketika, dia ingat hari-hari bersama Kartosoewirjo di medan perang.

Masih terdengar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia lalu mengambil selembar foto Kartosoewirjo, dan menatapnya lama-lama sambil berlinangan air mata.

Saat melihat foto sahabatnya itu, Soekarno tersenyum. 

“Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang,” ucapnya.

Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo, pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

3. Semaoen

Semaoen (foto istimewa)

Semaoen lahir tahun 1899 di Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya seorang buruh kasar, tukang batu pada jawatan kereta api milik pemerintah. Sebagai akibat politik Etis, Semaoen bisa sekolah di Tweede Klas, pada tahun 1906.

Setelah lulus sekolah dasar dan mendapat sertifikat klien abtenaar pada 1912, pada usia yang masih sangat belia yakni 13 tahun, Semaoen diterima bekerja sebagai juru tulis kecil (Klerk) pada perusahaan kereta api milik pemerintah.

Saat Sarekat Islam (SI) didirikan, Semaoen mendaftar menjadi anggotanya yang pertama-tama. Namanya masuk sebagai anggota SI afdeling Surabaya pada 1913. Setahun kemudian pada 1914, dia diangkat menjadi sekretaris SI cabang Surabaya.

Keterlibatan Semaoen dalam serikat buruh kereta api pemerintah mengantarkan dirinya mendapatkan nama buruk sebagai seorang agitator buruh pertama di Indonesia, yang lantas menghubungkannya dengan pemimpin buruh Belanda Sneevliet.

Sneevliet adalah seorang sosialis Belanda, pernah menjadi Ketua Serikat Buruh Trem dan Kereta Api yang dikontrol Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dia tiba di Indonesia pada Februari 1913, sebagai orang buangan pemerintah.

Pada 9 Mei 1914, Sneevliet mendirikan perkumpulan sosialis Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) yang banyak melakukan propaganda sosialisme dan mendorong tindakan revolusioner anti-imperialisme kepada kaum bumiputera.

Pertemuan Semaoen dengan Sneevliet sudah terjadi pada akhir 1913, di Surabaya. Pemikiran-pemikiran Sneevliat yang radikal sangat memengaruhi Semaoen untuk belajar dan mendalami ilmu marxisme, serta mengorganisir serikat-serikat buruh.

Semaoen lantas mendaftar ISDV dan VSTP cabang Surabaya, pada pertengahan 1914, dan diangkat eksekutif cabang VSTP Surabaya pada awal 1915, menyusul Kongres VSTP yang menyatakan tiga dari tujuh pimpinan pusat VSTP harus bumiputera.

Kegiatan Semaoen dalam ISDV dan VSTP serta SI cabang Surabaya, membuat pekerjaannya sebagai juru tulis di jawatan kereta api pemerintah tertanggu. Akhirnya, pada 1 Juli 1916, dia berhenti dari pekerjaannya dan segera pindah ke Semarang.

Sebagai gantinya, Semaoen ditawarkan menjadi propagandis dan editor surat kabar VSTP untuk kaum bumiputera SI Tetap dengan gaji kerja penuh. Keputusan Semaoen pindah sejalan dengan keinginan SI yang menginginkannya berada di Semarang.

Dalam Kongres SI tahun 1916, Semaoen segera dipindah ke Semarang, dengan kantor pusat Central Serikat Islam (CSI). Dengan hadirnya Semaoen di Semarang, mesin politik SI cabang Semarang menjadi lebih dinamis, dengan perkembangan pesat.

Pada 1916, keanggotaan SI Semarang 1.700 anggota. Setahun kemudian, setelah dipegang Semaoen, menjadi 20.000 orang. Dia juga mengusulkan agar SI-SI di perkotaan membuat tuntutan radikal di bidang kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Usia Semaoen masih sangat muda ketika muncul sebagai tokoh pergerakan revolusioner Indonesia. Pada 1916, saat perjalanan politiknya yang pertama, usianya baru menginjak 17 tahun. Semaoen besar pada masa pergerakan sedang hebat-hebatnya.

Seperti ditunjukkan dalam perjalanan kariernya, Semaoen merupakan jenis pemimpin pergerakan yang baru. Pertama, dia bukan jurnalis yang kemudian menjadi pemimpin pergerakan, seperti Mas Marco Kartodikromo dan pemimpin SI yang lainnya.

Semaoen juga memulai kariernya sebagai pemimpin buruh dan propagandis serikat pekerja yang mempelajari Marxisme sekaligus cara mengorganisir dan memimpin pemogokan buruh dengan profesionel. Kedua, Semaoen bukan keturunan priyayi.

Ketiga, dia masih sangat muda saat pertama muncul memimpin pergerakan revolusioner. Usianya 17 tahun lebih muda dari HOS Tjokroaminoto, dan sembilan tahun lebih muda dari Marco. Semaoen merupakan simbol kebangkitan kaum muda bumiputera.

Setahun kemudian pada 9 Mei 1917, saat pemilihan pengurus SI cabang Semarang, Semaoen dipilih menjadi ketua. Dipilihnya Semaoen semakin meningkatkan aktivitasnya dalam pergerakan. Semaoen mulai membentuk kelompok-kelompok aksi SI.

Pembentukan kelompok-kelompok ini menyusul terjadinya inflasi yang mengakibatkan para buruh resah, karena terjadinya pengurangan upah mereka. Pada 1918, di bawah komando Semaoen, SI cabang Semarang menggerakkan pemogokan buruh.

Sementara itu, terjadi perpecahan dalam tubuh ISDV. Anggota Eropa yang lebih demokrat menolak perkumpulan ini dijadikan komunis oleh Sneevliet dan memilih keluar secara serempak, hingga tinggal beberapa orang Eropa saja yang tinggal.

Kelompok orang Eropa itu kemudian membentuk SDAP Indonesia yang moderat. Meski demikian, hal ini menjadi satu keuntungan bagi anggota bumiputera untuk tampil sebagai pimpinan. Beruntung, tenaga bumiputera memiliki kemampuan yang bagus.

Di antara pemimpin Marxis yang paling menonjol dari kaum bumiputera yaitu Semaoen. Selain Semaoen, ada juga Darsono, yang secara serius mempelajari ilmu Marxisme. Pada kedua orang inilah, ide-ide sosialisme ISDV mempengaruhi SI.

Sebagai akibatnya, banyak anggota SI yang masuk ke dalam ISDV, tanpa melepas anggotanya di SI. Dengan semangat Revolusi Bolshewik 1917, Semaoen dan Darsono berusaha memengaruhi SI dan mendorong terciptanya revolusi serupa di Indonesia.

Usaha ini semakin kencang dilakukan tahun 1919 sebagai akibat buruknya perekonomian Indonesia yang mendatangkan bencana kelaparan di Jawa. Krisis ini semakin matang dengan adanya perluasan tanah perkebunan tebu di koloni Belanda.

Seiring dengan pembentukan Komintern pada 1919, maka terjadi perubahan nama perkumpulan. Kata sosial demokrat tidak lagi dipakai, karena sering dikaitkan dengan Internasional Kedua, dan tidak dapat diterima oleh pandangan revolusioner.

Perintah ini segera dijawab Partai Sosial Demokrat (SDP) Belanda, pecahan SDAP, dengan mengganti namanya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Setahun kemudian, pada 23 Mei 1920, ISDV berganti nama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dengan bergantinya ISDV menjadi PKI, maka berganti pula susunan organisasinya. Semaoen terpilih menjadi Ketua PKI pertama, Darsono menjadi Wakil Ketua, Bergsma sebagai Sekretaris, Dekker sebagai Bendahara, dan Baars sebagai Komisioner.

Tidak lama berselang, pada 24 Desember 1920, PKI memutuskan untuk bergabung dengan Komintern. Dalam Kongres Komintern, PKI diwakili oleh Sneevliet. Tahun-tahun pertama kerja PKI adalah menyebarkan paham komunisme kepada penduduk setempat.

Selain itu, Semaoen dan Darsono juga harus menjaga pengaruh mereka dalam SI. Tantangan terbesar Semaoen dalam menjaga pengaruhnya di SI yaitu menepis tuduhan musuh-musuh PKI yang menyatakan komunisme dan PKI memusuhi umat Islam.

Sebagai akibat dari tuduhan itu, terjadi persaingan yang cukup tajam antara SI dengan PKI. Puncaknya, SI menggalakkan disiplin partai pada Oktober 1921 yang melarang anggota-anggotanya untuk bergabung dengan PKI pimpinan Semaoen.

iNewsMadiun

Editor : Arif Handono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network