JAKARTA, iNewsMadiun.id - Operasi perburuan pentolan pemberontak Kahar Muzakkar berakhir di pengujung Ramadhan. Di pagi buta, tepat di hari Idul Fitri , dia ditembak mati. Perundingan demi perundingan yang gagal memicu Presiden Soekarno mengambil sikap tegas. Pada 17 Agustus 1964 Bung Karno memerintahkan Kodam XIV/Hasanuddin untuk menangkap pentolan DI/TII Sulawesi Selatan Abdul Kahar Muzakkar: hidup atau mati!
Pangdam Hasanuddin Kolonel M Jusuf merespons perintah itu dengan melanjutkan Operasi Kilat. Sebelumnya, Jusuf bersama pasukan Kujang dari Kodam Siliwangi melalui operasi itu telah menumpas pemberontakan Andi Selle di Pinrang. Pada Agustus tahun itu, posisi Kahar diperkirakan berada di bagian tenggara Sulsel.
Informasi itu diperoleh dari hasil pertempuran dengan pengawalnya di Rauta, sekitar Danau Towuti. Setelah berhasil menguasai daerah sekitar Latimojong, operasi diarahkan ke Tenggara. “RPKAD (kini Kopassus) juga mendapat penugasan di bawah Batalyon Infanteri 330/Para Kujang I pimpinan Mayor Yogie S Memet untuk membantu Kodam Hasanuddin. Pengepungan Kahar dipimpin Kolonel GP Solichin, seorang perwira senior dari Siliwangi yang ditugasi sebagai kepala staf Operasi Kilat,” kata Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus, dikutip Senin (2/5/2022). Pengawasan di daerah pegunungan Sulsel telah dilakukan lama. Kehadiran RPKAD di sisi gunung diharapkan dapat menutup akses pergerakan Kahar dan kelompoknya.
Serangan Fajar Akhiri Hidup Kahar Pada Januari 1965, seorang perwira kepercayaan Kahar Muzakkar yakni Letkol TII Kadir Junus menyerah kepada TNI.
Kadir pun membuka tempat persembunyian Kahar yang dikatakan berada di suatu tempat di Sulawesi Tenggara, tepatnya dekat Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari. Kendati demikian, kepastian lokasi musuh negara nomor satu setelah tamatnya riwayat pendiri NII di Jawa Barat Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo itu diperoleh tim RPKAD usai mereka menyergap kelompok Kahar di sekitar Lawate. “Di antara dokumen-dokumen yang disita terdapat surat-surat yang masih baru ditulis Kahar Muzakkar, yang ditujukan kepada Mansjur,” kata penulis Atmadji Soemarkidjo dalam bukunya Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit.
Informasi itu diteruskan kepada Yogie S Memet. Perwira Baret Merah itu lantas memerintahkan operasi penuh. Tak tanggung-tanggung empat kompi Yonif 330 dikerahkan. Salah satu satuan yang melakukan patrol yakni Peleton I/Kompi D pimpinan Peltu Umar.
Pada 1 Februari 1965, satu kelompok Peleton Umar berhasil menangkap Menteri Kesehatan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) bentukan Kahar dan 144 pengikutnya. Dari penangkapan ini informasi keberadaan pria yang memiliki panggilan La Domeng itu terus diperoleh.
Pada 2 Februari, salah satu anak buah Umar melihat seorang pria bersenjata mengarungi Sungai Lasolo dengan rakit. Pasukan Para Kujang membuntuti. Operasi penyergapan pun disusun cepat. Ternyata rakit menuju perkemahan dari bivak di tepi sungai.
“Sayup-sayup terdengar suara dari radio transistor lagu ’Kenang-kenangan’. Ini, menurut penunjuk jalan adalah lagu kesayangan Kahar Muzakkar,” tulis Atmadji.
Pada dini hari 3 Februari, Umar memerintahkan pasukannya mengepung perkemahan. Empat prajurit ditinggal di seberang sungai untuk mencegah lawan yang sekiranya nanti melarikan diri.
Pasukan Para Kujang ini mengepung seraya menunggu terang. Pukul 04.00, beberapa orang keluar bivak dan berjalan menuju sungai. Khawatir mereka akan melakukan sesuatu, empat prajurit TNI di seberang sungai menghujani tembakan.
Rentetan tembakan itu lantas diikuti puluhan prajurit yang telah mengepung perkemahan Kahar. Pagi buta itu pecah dengan baku tembak yang menggelegar.
Hanya sekitar lima menit. Dalam suasana pagi buta yang masih samar-sama tersebut tampak seseorang keluar dan berlari membawa sesuatu. Prajurit Kujang mengira barang di tangan orang tersebut granat.
Tak mau mengambil risiko, Kopral III Sadeli menembakkan rentetan senapan Thompson. Tiga peluru bersarang di tubuh pria itu yang membuatnya roboh bersimbah darah. Kala fajar mulai menyingsing, mayat-mayat yang berserakan dikumpulkan.
“Akhirnya diyakini salah satu yang tewas adalah Kahar Muzakkar, orang paling ditakuti sejak 1950 dan yang mengangkat dirinya sebagai Khalifah RPII,” lanjut Atmadji.
Kahar meninggal akibat terjangan peluru pada 3 Februari 1965, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Dari Patriot ke Pembelot
Kahar Muzakkar sejatinya bukan orang awam bagi Soekarno. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, putra Luwu ini mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi.
Di Jakarta pula dia membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, pria yang memiliki panggilan La Domeng ini ikut mengawal Soekarno.
Saat Sang Proklamator didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang.
Namun putaran waktu dan perubahan situasi mengubah ideologi perjuangan Kahar. Dari seorang patriot, dia dicap pembelot.
Cikal bakal pemberontakan Kahar telah terasa sejak awal 1950, ketika terjadi perselisihan antara mantan pasukan gerilya dengan petinggi militer di Sulsel.
Menurut Jurnal Penelitian Keislaman UIN Sunan Kalijaga, pada 18 Juni 1950 Kahar diminta untuk menuju ke Sulsel dalam rangka menenangkan para pasukan gerilya Sulawesi Selatan yang memberontak.
Panglima Komando Tentara dan Teritorial Indonesia Timur (KTTIT), Kolonel Kawilarang menginstruksikan Kahar bersama Mursito segera menemui pasukan gerilya dan memberikan pengertian pada mereka bahwa peleburan pasukan gerilya dilakukan secara perorangan apabila memenuhi syarat untuk masuk TNI.
Namun tawaran ini ditolak oleh pasukan gerilya Sulsel. Mereka meminta penggabungan secara berkelompok dengan menunjuk Kahar Mudzakkar sebagai komandan. Tentu saja hal ini ditolak Kawilarang.
Perpecahan pun terjadi. Kahar termasuk dalam kubu yang mendukung pasukan gerilya Sulawesi Selatan. Secara resmi dia meletakkan tanda pangkat letnan kolonelnya di depan Kawilarang pada 5 Juli 1950 dan memilih bergabung dengan pasukan gerilya.
Sejarawan UI Anhar Gonggong mengatakan penolakan Kawilarang tentang Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) masuk Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan menjadi Brigadir Hasanuddin memantik kekecewaan mendalam bagi Kahar.
Penolakan itu membuatnya merasa gagal mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar. Kahar berikut KGSS lalu memutuskan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada 7 Agustus 1953, Kahar memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Kahar sendiri diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII.
"Pada awal kemerdekaan 1945 hingga 1950 Kahar adalah patriot pembela bangsa. Namun setelah tahun 1952 dia menjadi pemberontak. Memang ada jasa Kahar untuk bangsa ini. Namun itu semua terhapus karena pemberontakannya terhadap negara Republik Indonesia," kata Anhar Gonggong kepada SINDOnews, beberapa waktu lalu.
Editor : Arif Handono