SYEKH MALANG SUMIRANG tiba-tiba menempuh laku hidup yang tidak lazim. Malang Sumirang melepas segala hal yang bersifat keduniawian. Di hatinya yang ada hanya Tuhan, sehingga hari-harinya hanya diisi dengan merenung.
Salah satu ulama penyebar Islam di tanah Jawa, atau juga dikenal dengan nama Sunan Panggung tersebut, hidup di masa pemerintahan Kesultanan Demak, saat dipimpin Sultan Trenggono pada tahun 1488-1521. Ketidaklaziman laku yang dijalani Syekh Malang Sumirang itu, membuat sebagian masyarakat menganggapnya telah gila. Namun yang membuat resah ketika Malang Sumirang menilai ibadah lahiriah sebagai kungkungan, yang itu tidak bermanfaat bagi batin yang telah menyatu dengan Tuhan.
Puncaknya ketika Syekh Malang Sumirang tiba-tiba memelihara dua ekor anjing yang secara syariat dilarang. Anjing berbulu hitam diberinya nama Iman dan yang berbulu kemerahan bernama Tokid (Tauhid). Kedua ekor anjing itu mengiringi ke mana pun Syekh Malang Sumirang pergi. "Mereka bahkan ikut Jumatan di masjid, duduk di belakang tuannya, dan turut menyerap hukum Nabi dengan tekun," tulis George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa.
Sejumlah sumber menyebut Syekh Malang Sumirang memiliki nama kecil Raden Jatiswara. Ia adalah putra kedua Raden Santri atau Ali Murtadho atau Ali Musada, kakak kandung Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ibu Malang Sumirang adalah putri bangsawan asal Jipang Panolan (sekarang Cepu, Kabupaten Blora). Syekh Malang Sumirang memiliki kakak kandung bernama Raden Usman Haji atau Ngusman Haji yang dikenal sebagai Sunan Ngudung. Selisih usia keduanya 20 tahun. Sunan Ngudung adalah ayah Jakfar Shadiq atau Sunan Kudus.
Sejak kecil Syekh Malang Sumirang dikenal sebagai bocah yang cerdas dan pemberani. Oleh ayahnya, ia dipondokkan ke pesantren Sunan Ampel yang tak lain pamannya sendiri. "Di Pesantren Ampeldenta, Raden Jatiswara bersahabat akrab dengan Kebo Kenanga, teman sesama santri yang sebaya umurnya. Mereka juga bergaul dekat dengan Sunan Ali Hasan (kelak menjadi Syekh Siti Jenar) yang juga menjadi santri di Ampel," tulis Yudhi AW dalam buku Jalan Gila Menuju Tuhan, Kisah Moksanya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging & Syekh Malang Sumirang dalam Babad Jaka Tingkir (2013).
Dari Ampel Denta, Malang Sumirang melanjutkan nyantri ke pesantren Sunan Giri di Gresik. Ia menyukai ilmu tasawuf. Selepas dari pesantren Giri Kedaton Syekh Malang Sumirang memutuskan mengembara. Ia tinggal di mana saja di mana sebagian orang menjumpainya berada di atas pohon besar. Pohon besar itu menjadi tempatnya istirahat sekaligus melakukan laku tirakat. Dari situ ia mendapat julukan Sunan Panggung. Selama sepuluh tahun Syekh Malang Sumirang menjalani kehidupan tak lazim.
Ia menyebut hidupnya sebagai Thariq Rabbani atau jalan gila menuju Tuhan. Namun yang membuat marah penguasa Kerajaan Demak ketika Syekh Malang Sumirang terang-terangan memelihara dua ekor anjing yang diberinya nama iman dan tokid. Malang Sumirang dituding sesat sekaligus dianggap telah menghina ajaran syariat. Sultan Kudus yang mana sebagai keponakan Syekh Malang Sumirang diminta Sultan Trenggono untuk mengajak pamannya kembali ke jalan lurus.
Syekh Malang Sumirang diminta mengakui kesalahannya. Jika tidak, Sultan Demak akan menjatuhkan hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup.Yudhi AW dalam Jalan Gila Menuju Tuhan, Kisah Moksanya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging & Syekh Malang Sumirang dalam Babad Jaka Tingkir menyebut Sunan Kudus berusaha melobi pamannya agar hukuman mati urung dilaksanakan. "Ayolah, Paman Malang Sumirang. Dalem mohon dengan sangat, mengakulah kalau Paman telah salah jalan. Kita bisa kumpul sebagai kerabat," kata Sunan Kudus.
Apa jawaban Syekh Malang Sumirang? Ia tetap teguh dengan pendiriannya. Ia tetap meyakini apa yang dilakukan tidak ada yang salah. "Nakmas Kudus. Apa yang kau sedihkan? Perpisahan badan kita? Ooo..itu masalah kecil. Aku tak perlu melakukan masalah itu," jawab Syekh Malang Sumirang. Diceritakan dalam Babad Jaka Tingkir, Sunan Kudus hanya bisa terdiam, pasrah dalam kesedihan.
Musyawarah para ulama dan kerajaan Demak akhirnya memutuskan hukuman mati dijatuhkan. Keputusan disiarkan secara luas, di mana eksekusi berlangsung di alun-alun Demak. Kayu bakar pun disiapkan. Kayu disusun bertumpuk-tumpuk dengan sebuah ruangan sebagai tempat Syekh Malang Sumirang. Mengetahui persiapan pelaksanaan hukuman itu Malang Sumirang tetap tenang. Air mukanya tetap tak terlihat rasa takut maupun sedih. Ia justru gembira.
"Ia malah teramat girang karena merasa akan bersatu dengan Tuhan yang sudah lama ia idamkan masanya," demikian Babad Jaka Tingkir mengisahkan. Sultan Trenggono dan ulama Wali Songo kembali memberi kesempatan Malang Sumirang bertobat. Cukup mengakui semua kesalahan dan menyatakan kembali ke jalan yang benar, putusan hukuman mati akan dicabut. Namun Syekh Malang Sumirang tetap dengan sikapnya.
Pada hari Senin, disaksikan rakyat Demak, hukuman mati itu dilaksanakan. Para wali dan pemuka agama Demak yang dipimpin Sunan Drajat hadir di sekitar alun-alun. Mereka berada di dalam Masjid Agung, duduk di kursi masing-masing. Sementara Sultan Trenggono duduk di atas kursi kencana, di atas panggung yang sengaja dibangun di antara beringin sepasang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati.
Lepas salat dhuhur, Syekh Malang Sumirang digelandang menuju alun-alun. Rakyat Demak menyambut dengan sorak-sorai. Sebelum diletakkan di antara tumpukan kayu bakar, Malang Sumirang ditempatkan di depan para ulama, di tempat paling rendah. Posisi itu merupakan simbol bahwa dulunya Malang Sumirang ini adalah seorang ulama namun karena kelakukannya sendiri maka kini ia berada di tempat yang paling rendah.
Dewan wali menunjuk Sunan Kudus sebagai eksekutor hukuman mati. Penunjukan itu untuk menegaskan: Untuk menegakkan sebuah kebenaran, tak ada toleransi lagi. Biar saudara sendiri, kalau memang salah harus tetap dihukum. "Paman, maafkan saya, dengan terpaksa saya harus melaksanakan titah. Ini adalah keputusan dari mufakat bersama, yakni musyawarah antara segenap wali dengan Kanjeng Sultan dengan didasarkan pada Al-Qur'an, Hadist, Ijmak dan Qiyas," ujar Sunan Kudus seperti disarikan dari Babad Jaka Tingkir.
Dengan tenang Syekh Malang Sumirang mempersilahkan keponakannya melaksanakan tugasnya. "Laksanakan tugasmu, Nak. Engkau tak usah ragu. Aku sudah siap menanggung perbuatanku, tak akan lari aku dari tanggung jawab. Bakarlah kayu-kayu ini. Hanya saja kalau diperkenankan, aku minta sesuatu padamu". Syekh Malang Sumirang meminta dua bundel kertas beserta tinta yang hendak ditulis sebagai sebuah wasiat.
Yang mengejutkan Sunan Kudus, Syekh Malang Sumirang yang berada di tumpukan kayu memulai menulis setelah api berkobar hebat. Paman Sunan Kudus itu duduk bersila di tengah kobaran api di mana dua ekor anjingnya ada di dekatnya. Ajaibnya, api tak menyentuh kulitnya. Begitu juga dua ekor anjingnya, tidak terbakar. Malang Sumirang terus menulis.
"Api itu terus menjilat, menyala-nyala, berkobar-kobar, membumbung tinggi ke atas. Namun sang terhukum masih saja tenteram di dalamnya, seakan tengah bernaung di kolam bening saja". Saat api mengecil dan akhirnya mati, tulisan pada bundel kertas itu selesai. Semua mata melihat Syekh Malang Sumirang dan dua ekor anjingnya tetap segar bugar.
Semua tercengang. Para wali, Sultan Demak, para mufti, para pandita agung, para ksatria dan adipati serta segenap punggawa menteri, saling pandang. Dengan senyum mengembang, Malang Sumirang berdiri meninggalkan tempat duduknya. Dihampirinya Sunan Drajat dan menyalaminya. Satu-persatu wali dijabat tangannya. Yang terakhir Syekh Malang Sumirang menyalami Sultan Trenggono.
Ia kemudian kembali kepada Sunan Drajat untuk menyerahkan bundel kertas bertuliskan suluk tulisan tangannya. "Ia beri nama suluk itu sebagai Suluk Malang Sumirang, sebagai pijakan menuju ilmu rasa yang meliputi rahsa," tulis Yudhi AW dalam Jalan Gila Menuju Tuhan, Kisah Moksanya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging & Syekh Malang Sumirang dalam Babad Jaka Tingkir.
Suluk yang berbentuk tembang Dhandhanggula itu berisi ajaran ketuhanan. Sebuah penyingkapan tabir rahasia, berisi kata-kata yang menyurat sekaligus tersembunyi maknanya. Juga tentang pemakluman atas Kesejatian Sang Maha Mengawasi, penjelasan bagi kesempurnaan ilmu, menyeluruh hingga tuntas.
"Suluk Malang Sumirang karangan Pangeran Panggung (Syekh Malang Sumirang) adalah karya luar biasa. Karya tersebut tergolong dalam sekelompok teks keagamaan yang berkenaan dengan tasawuf gaya Jawa," kata peneliti asing George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa. Usai menyerahkan suluk Malang Sumirang, paman Sunan Kudus itu kemudian melanjutkan pengembaraanya ke wilayah pesisir pantai utara.
Sejumlah versi menyebut pengembaraan Syekh Malang Sumirang atau Sunan Panggung berhenti di wilayah Tegal, Jawa Tengah. Sebuah makam tua di sebelah utara alun-alun Kota Tegal, tepatnya di belakang masjid Panggung diyakini sebagai pesarean Syekh Malang Sumirang. Setiap Kamis Wage dan Jumat Kliwon, banyak peziarah berdoa di depan pusaranya.
Kitab suluk Malang Sumirang tersimpan di area makam. Namun kitab itu kemudian diyakini turut musnah, seiring terjadinya peristiwa kebakaran yang menghanguskan komplek pesarean Mbah Panggung atau Syekh Malang Sumirang.
Editor : Arif Handono