Meninggalnya Yasadipura II, membuat Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta, oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845. Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra di masa pemerintahan Pakubuwana VII. Bukan hanya itu, Ranggawarsita memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan Pakubuwana VII. Dia juga dikenal sakti oleh banyak kalangan, dan menjadi peramal yang sangat ulung.
Meski memiliki darah biru, dan menjadi pujangga Kesunan Surakarta, Ranggawarsita dikenal sangat peduli terhadap nasib rakyat kecil. Bahkan, dalam sejumlah naskah Ranggawarsita dikisahkan sebagai orang yang mengerti bahasa binatang, hal ini diduga hanya sebagai simbol tentang kepeduliannya terhadap kesusahan rakyat jelata. Situasi berbalik, ketika Belanda membuang Pakubuwana VI ke Ambon, pada tahun 1830 dan Pakubuwana IX naik takhta. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon, karena dituduh mendukung Pangeran Diponegoro.
Sebelum Pakubuwana VI ditangkap Belanda, dan dibuang ke Ambon. Diduga, Belanda terlebih dahulu menangkap ayah Ranggawarsita, Mas Pajangswara yang merupakan juru tulis keraton. Mas Pajangswara ditangkap dan disiksa hingga tewas, untuk mengungkap hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Namun, siksaan yang keji dari Belanda, hingga membuat Mas Pajangswara tewas, tidak merubah sedikitpun sikap Mas Pajangswara. Sikap diam dan tak membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro, diambil Mas Pajangswara dengan segala konsekuensi logisnya.
Belanda tetap saja licik. Meski tak menemukan bukti hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro, tetap saja Pakubuwana ditangkap dan dibuang ke Ambon, dengan menyebarkan berita bohong, bahwa Mas Pajangswara telah memnocorkan seluruh informasi hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Fitnah keji Belanda terhadap Mas Pajangswara, akhirnya membuat Pakubuwana IX yang kala itu bertakhta, tak menyukai putra Mas Pajangswara, Ranggawarsita. Belanda juga turut tak menyukai Ranggawarsita. Bahkan seluruh kegiatan Ranggawarsita, selalu diawasi oleh Belanda.
Belanda melihat Ranggawarsita sebagai jurnalis berbahaya, meskipun dia bersahabat dan memiliki murid keturunan Belanda, C.F. Winter, Sr. Melalui tulisan-tulisannya, Ranggawarsita dinilai Belanda dapat membangkitkan semangat perlawanan para pribumi. Tekanan dan kecurigaan yang kian menjadi-jadi dari Belanda melalui orang-orang suruhannya, membuat Ranggawarsita harus melepaskan jabatannya sebagai redaksi di surat kabar Bramartani, pada tahun 1870.
Dia menjadi saksi bagaimana menderitanya rakyat Jawa, usai perang Diponegoro. Belanda dengan semena-mena menerapkan program tabam paksa. Kondisi ini juga membuat hati Ranggawarsita terluka. Dalam situasi penuh keprihatinan tersebut, Ranggawarsita meramalkan terjadinya kemerdekaan. Dalam Serat Jaka Lodang dia menyebutkan, kemerdekaan itu akan terjadi pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma. Empat kata yang merupakan kalimat Suryasengkala tersebut, jika ditafsirkan akan ditemukan deretan angka 7, 7, 8, 1. Untuk membaca Suryasengkala, dilakukan dari belakang ke depan, menjadi 1877 Saka, yang bertepatan dengan tahun 1945 Masehi, dan menjadi tahun kemerdekaan Indonesia. Berbagai karya sastra telah dilahirkan Ranggawarsita. Bahkan, bersama sahabat yang juga anak dirinya, C.F. Winter Sr., Ranggawarsita melahirkan Bausastra Kawi, atau Kamus Bahasa Kawi-Jawa.
Karya-karyanya antara lain Sapta Dharma, Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Kalatidha, Serat Panitisastra, Serat Pandji Jayeng Tilam, Serat Paramasastra, Serat Paramayoga, Serat Pawarsakan, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Wedaraga, Serat Witaradya, Sri Kresna Barata, Wirid Hidayat Jati, Wirid Ma'lumat Jati, dan Serat Sabda Jati. Ranggawarsita yang meninggal dunia tepat sesuai ramalannya sendiri, akhirnya dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makam tersebut sering dikunjungi para peziarah, termasuk Presiden Soekarno, dan Gus Dur. Sumber: Wikipedia
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait